Mohon tunggu...
Rifqy Azza
Rifqy Azza Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Lagi mikir

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hidup untuk Bekerja: Era Komodifikasi Diri

2 Mei 2023   06:00 Diperbarui: 2 Mei 2023   06:58 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Xiaolong Wong on Unsplash

Fenomena

Konten-konten self-improvement, cara membuat CV yang baik, tips interview, hingga tips agar diterima bekerja merupakan beberapa contoh jenis konten yang seringkali kita lihat di media seperti tiktok, instagram, hingga linkedin. Konten-konten ini tidak jarang memiliki view dan engagement yang sangat besar, bahkan para content creator dalam ranah tersebut juga berani menciptakan event berbayar yang difokuskan hanya untuk memberikan segelintir tips dalam berkarir. Ramainya konten-konten seperti ini memang tidak mengherankan. Situasi ekonomi dan realitas yang ada saat ini memang menggambarkan bahwa ada gap besar antara lapangan pekerjaan dengan tenaga kerja. Hal ini ditambah dengan inflasi serta inekualitas yang semakin meningkat menyebabkan setiap orang berkompetisi untuk tidak terjerumus dalam kemiskinan.

Komodifikasi Diri dan Uang sebagai Tuhan

Konten-konten tersebut memang bertujuan baik, memberikan informasi kepada para job seeker agar mereka bisa mendapatkan pekerjaan untuk menunjang kehidupan yang lebih baik. Selain itu, konten-konten ini juga memberikan awareness terhadap viewers bahwa tantangan dunia kerja ke depannya akan semakin kompleks, sehingga persiapan sedini mungkin merupakan antisipasi paling tepat dalam menghadapi tantangan tersebut. Tetapi, di samping manfaat tersebut, hadirnya konten-konten seperti menjadi pertanda adanya wabah yang lebih besar. Di samping informasi praktikal yang disampaikan, konten-konten tersebut mengesankan bahwa kita hidup di era komodifikasi diri sendiri, di mana kita merupakan objek yang dinilai berdasarkan value kita di pasar tenaga kerja.

Gejolak ekonomi, mahalnya biaya hidup, hingga masa depan yang tidak pasti mengaburkan realitas bahwa kita berlomba-lomba menjadi komoditas paling bernilai di pasar tenaga kerja, dengan mengenyampingkan moral, etika, hingga otentisitas kita sebagai manusia. Semua yang kita lakukan akan bernilai berdasarkan kerangka pikiran bahwa tindakan tersebut harus bisa menghasilkan uang dan segala tindakan di luar itu akan dianggap sebagai kesia-siaan. Ini menggambarkan suatu gejala sosial di mana manusia seakan-akan membentuk uang sebagai psikologinya.

Saat ini, kita juga menghadapi fenomena di mana mahasiswa semester awal, yang notabene seharusnya masih berkenalan dengan lingkungan kampus dan mata kuliah pengantar, sudah sibuk dengan mencari magang. Adanya urgensi untuk mengaitkan segala kegiatan semasa perkuliahan dengan relevansinya di job market menjadi bukti bahwa adanya pergeseran pola pikir di masyarakat. Hal ini berkaitan dengan perubahan psikologis yang seakan-akan menuhankan uang. Universitas serta institusi pendidikan lainnya, seharusnya merupakan tempat untuk menjadi manusia terdidik, manusia heterogen dalam berpikir, intelek, dan berempati terhadap sekitarnya. Tetapi pada kenyataannya justru sebaliknya. Institusi pendidikan saat ini berubah menjadi mesin pencetak pekerja yang homogen dari segi tujuan, yaitu relevan di job market.

Perubahan substansi di sektor pendidikan merupakan salah satu contoh bahwa perubahan paradigma ini memang sedang berlangsung secara masif. Di samping sektor pendidikan, kita dapat melihat di sekitar kita bahwa seni dan spiritualitas tidak lagi menjadi faktor integral dalam hidup manusia. Berkurangnya minat generasi muda pada hal abstrak seperti seni (tidak terbatas di Indonesia) dan terkikisnya religiusitas akibat obsesi manusia terhadap uang secara perlahan merusak pondasi-pondasi peradaban manusia. Bagaimana tidak, kita mengenal Da Vinci, Galileo, Van Gogh, Mozart, Beethoven, hingga tokoh-tokoh filsuf Aristotle dan Plato sebagai pembentuk peradaban hingga saat ini. Karya-karya mereka menjadi pondasi berpikir manusia-manusia terdahulu untuk membangun peradaban. Sementara itu, saat ini kita dibutakan dengan hal-hal materialistis. Kerja dan karya memiliki makna bahwa kita harus menghasilkan uang dari apa yang kita kerjakan dan tidak ada kebermanfaatan lain di atas uang.

Gejala sosial ini memiliki implikasi yang berbahaya apabila dibiarkan terus-menerus. Bukan hanya kita sebagai manusia akan mengomodifikasi diri secara terus menerus, tetapi pemecahan masalah sosial ke depannya akan selalu dimotivasi oleh uang dan di-marketisasi. Moral dan etika akan terus berubah dengan mengacu pada relevansinya terhadap logika materialistis. Nilai-nilai individualisme akan mengakar kuat dan eksistensi manusia akan berfokus pada perolehan profit secara terus menerus.

Memang, tidak dapat dipungkiri bahwa kita memerlukan uang untuk bertahan hidup hingga mengaktualisasikan diri. Tetapi, kita perlu memerhatikan bahwa uang seharusnya sebagai alat, bukan tujuan. Komodifikasi diri yang sudah mewabah ini merupakan awal dari suatu problematika yang besar. Solusi untuk saat ini, adalah dengan pintar dalam menempatkan diri, membaca situasi, dan selalu aware dengan apa yang kita lakukan. Tidak apa mengikuti arus, tetapi jangan sampai tenggelam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun