Mohon tunggu...
Rifqiyudin Anshari
Rifqiyudin Anshari Mohon Tunggu... Buruh - Independent, Bebas dan Merdeka

rifqiyudinanshari@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Menimbang Kebijakan Impor dalam Memanipulasi Harga Pasar

8 Februari 2019   15:27 Diperbarui: 8 Februari 2019   17:25 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita ambil contoh misalnya persoalan yang beberapa waktu sempat viral dan bertengger beberapa hari di Twitter dan Sosial Media yang lain, adalah Impor Garam. Setidaknya ada dua opsi yang bisa diambil pemerintah untuk mencukupi kebutuhan garam, pertama jalur cepat (impor) dengan beresiko prokontra masyarakat, kedua jalur lamban dengan resiko harga garam tetap naik hingga beberapa bulan.

Kebijakan impor dilakukan untuk menekan harga pasar agar tetap seimbang, artinya, jika pemerintah tiak melakukan kebijakan ini, maka harga garam dipasar akan tetap naik, dan ini akan lebih menuai protes. lalu, pemerintah lebih memilih jalur cepat, yaki melakukan kebijakan impor. menyediakan ton tonan garam dalam waktu sekejap hanya bisa dilakukan dengan metode impor.

Kalau misalnya dana impor dialihkan untuk para pengusaha garam yang produksinya dinilai menurun, maka kita perlu menunggu beberapa minggu dan bulan agar garam dipasar kembali normal, dan itu artinya kita harus menerima harga garam naik 200% dari harga normal selama hasil prodksi dari dana talangan belum siap jual. Ditambah jalur distribusi garam lokal dari pengusaha hingga kekonsumen memakan waktu tidak sebentar.

Memang pemerintah tida bisa selamanya mengambil kebijakan impor setiap terdapat masalah kelangkaan garam atau kelangkaan bahan pokok lainnya, maka yang harus dilakukan pemerintah setelah melakukan impor garam adalah memperhatikan para petani garam, bisa dengan cara memberikan bantuan dalam bentuk alat-alat produksi yang modern untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas produksi.

Tentu kita tidak sepakat dengan kebijakan impor, dan kita juga jauh tidak akan sepakat dengan kenaikan harga garam di pasar. Jadi saya rasa kita perlu memilih salah satu konsekuensi tersebut, memilih menyetujui impor garam, atau membiarkan pemerintah mengalihkan dana bantuan untuk para pengusaha garam dan memaksa para pengusaha agar meningkatkan kapasitas produksinya dalam waktu singkat sementara kita menunggu sambil tidak makan dengan garam.

Ini dilema, kita menolak impor bahan - bahan yang dihasilkan dari pertanian, tapi kita menolak untuk menjadi petani dan memandang rendah profesi petani dengan menuduh pemeritnah tidak becus mengelola lahan pertanian.

Kemudian, kita menuntut pemerintah untuk lebih peduli pada petani dan menghargai hasil jerih payah mereka. tapi kemudian, ketika harga beras dipasar mahal, harga cabe mahal, harga garam mahal kita protes terhadap pemerintah tanpa memikirkan perasaan para petani. mungkin karna ini juga kenapa pekerjaan petani tidak diminati anak2 muda, sebab mereka sadar, bahwa mereka tidak bisa mengambil keuntungan lebih.

Lalu haruskah pemerintah membeli bahan-bahan pokok dari petani dengan harga mahal dan menjual dipasar dengan harga murah? Ini artinya monopoli pasar, pendapatan negara menurun drastis, dan akan banyak orang yang kehilangan usahanya karna mereka kesulitan mendapatkan bahan yang bisa dijual dari petani seperti para tengkulak yang seenaknya memainkan harga itu juga butuh pekerjaan dan mereka butuh makan.

Maka tentu saja yang dilakukan pemerintah adalah menyeimbangkan harga pasar, tidak terlalu mahal, tidak juga terlalu murah tapi terjangkau oleh semua kalangan. 

Menekan para tengkulak-tengkulak agar mengambil keuntungan secukupnya, tapi menurut para tengkulak bisnis bahan pangan berbeda dengan bisinis jual beli pakaian, mereka harus menaikan harga sedikit lebih tinggi sebab khawatir bahan-bahan itu busuk lebih dulu dan mereka rugi, sama ruginya dengan dijual murah. Jadi bukan hanya pemerintah yang tidak menghargai jasa petani, tapi juga kita.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun