Mohon tunggu...
Rifqiy Akmal Syarif
Rifqiy Akmal Syarif Mohon Tunggu... PNS -

Selalu ingin menjadi pribadi yang pandai bersyukur dan senantiasa dibimbing di jalan yang lurus

Selanjutnya

Tutup

Catatan

“Peningkatan Pendapatan Per Kapita sebagai Politik Pencitraan Semata?”

8 Februari 2011   09:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:47 626
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12971571631236789552

JAKARTA, KOMPAS.com - Pendapatan per kapita Indonesia atas dasar harga berlaku pada 2010 tercatat mencapai Rp 27 juta atau setara dengan 3.004,9 dollar AS. Angka ini naik sekitar 13 persen bila dibandingkan pada 2009 lalu yang mencapai Rp 23,9 juta atau setara 2.349,6 dollar AS. "Itu, angka nominal PDB sebesar Rp 6.244,9 triliun dibagi dengan jumlah penduduk pada 2010 yang sebesar 237,6 juta hasilnya adalah Rp 27 juta per kapita pendapatan per tahun," kata Kepala BPS Rusman Heriawan, Senin (7/2/2011). ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- Pendapatan perkapita sering digunakan sebagai tolak ukur kemakmuran dan tingkat pembangunan sebuah negara; semakin besar pendapatan perkapitanya, semakin makmur negara tersebut. Apakah Indonesia semakin makmur? Banyak kalangan berpendapat bahwa peningkatan kemakmuran hanya dirasakan oleh segelintir orang semata. Sedangkan masih banyak jutaan penduduk yang hidup melarat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Pendapatan perkapita tidak mencerminkan distribusi pendapatan Ketimpangan distribusi pendapatan, dapat diukur dengan menggunakan suatu koefisien yang disebut koefisien gini. Seperti dikutip dari http://pakbodong.blogspot.com/2011/01/ketimpangan-pendapatan.html, Ketimpangan distribusi pendapatan, dapat diukur dengan menggunakan suatu koefisien yang disebut koefisien gini.Angka koefisien gini berkisar antara 0 sampai 1. Di bawah 0,4 = baik, 0.4-0.5 = sedang, di atas 0.5 = buruk,. Koefisien Gini ( KG ) di Indonesia selalu di bawah 0.4, berarti baik.,tapi ada masalah mendasar, yaitu basis perhitungannya bukan pendapatan, tapi konsumsi. KG diukur berdasarkan data konsumsi dari Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional). Jadi KG dalam konteks ini, tidak dapat digunakan untuk mengukur ketimpangan pendapatan. Setidaknya kita perlu tahu bahwa ukuran ketimpangan pendapatan di Indonesia itu menggunakan proksi ( sebagai wakil dari ) konsumsi. Perbedaan pendapatan antara orang kaya dan orang miskin jauh lebih senjang dibandingkan dengan perbedaan konsumsi. Apalagi Susenas tidak memasukkan jenis-jenis konsumsi orang kaya, misal: pembelian mobil, biaya sekolah anak, biaya berobat dan biaya liburan ke LN. dan lain lain. Data konsumsi dari Susenas "seharusnya" sama dengan/setidaknya tak jauh beda dengan data konsumsi dari PDB, tetapi kenyataannya, tidak begitu. Karena itu, data tentang KG yang digunakan pemerintah Indonesia harus disikapi dengan hati-hati. Selama ini pemerintah tidaak pernah mengumumkan KG karena memburuk. dan ketika KG membaik, baru pemerintah berkoar-koar. Kajian UNCTAD menyimpulkan : peningkatan pendapatan perkapita tak signifikan memperbaiki kualitas pendidikan dan kesehatan, yang menjadi kunci pemerataan. Apakah kenyataan ini bisa menyimpulkan bahwa pemerintah berbohong? Apakah pemerintah sengaja menggunakan Peningkatan Pendapatan per Kapita sebagai politik pencitraan semata? Semoga, anggapan ini keliru, dan semoga kemakmuran yang merata benar-benar terwujud di bumi pertiwi ini. Sumber: http://pakbodong.blogspot.com/2011/01/ketimpangan-pendapatan.html

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun