Mohon tunggu...
Rifqi Pasca Very D
Rifqi Pasca Very D Mohon Tunggu... Seniman - BPTP Maluku

Penulis Amatir

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sekilas Penyuluhan Pertanian di Daerah Perbatasan (RI - Malaysia)

15 Februari 2024   11:59 Diperbarui: 15 Februari 2024   12:13 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada tahun 2018, Kementrian Pertanian berkomitmen meningkatkan produksi hasil pertanian di daerah perbatasan Indonesia. Salah satu  program  dalam komitmen tersebut adalah mengirim mahasiswa yang berada didalam lingkup kementrian pertanian ke berbagai daerah perbatasan di Indonesia. Saya adalah salah satu dari mahasiswa yang bertanggung jawab dalam mendampingi kelompok tani di desa Entikong , Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat. Kabupaten Sanggau terletak sekitar 196 km disebelah utara kota Pontianak. Kabupaten ini merupakan kabupaten terluar yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Desa Entikong sendiri merupakan pos terluar wilayah NKRI dibagian utara Kalimantan. Dalam sektor pertanian , Sanggau memiliki beberapa daerah sentra tanaman padi seperti Nekan, Kebayan, dan Suruh Tembawang. Namun mayoritas petani di Sanggau memilih Lada perdu  sebagai komoditas pertaniannya. Tanaman perdu memiliki harga yang tinggi yaitu sekitar Rp.26.000/kg. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, harga lada perdu turun mencapai Rp.12.000/kg. Meskipun begitu, lada perlu tetap menjadi tanaman primadona di Kabupaten Sanggau.

            BP3K Entikong memiliki kontribusi yang besar terhadap sektor pertanian di Kecamatan Entikong. Penyuluhan pertanian yang secara berkala diadakan oleh BP3K Entikong direspon dengan baik oleh masyarakat tani, bahkan penyuluh selalu mendapatkan buah tangan yang diberikan oleh petani setiap setelah melakukan penyuluhan. Artinya bahwa petani Entikong memiliki minat dan motivasi yang tinggi terhadap penyuluhan pertanian.

            Ada beberapa kendala yang menghambat proses penyuluhan pertanian di Kecamatan Entikong, yang pertama adalah bahasa. Menurut data statistika, Sebanyak 439.956 atau 11,17 % masyarakat di Kalimantan barat menggunakan bahasa Indonesia, sebanyak 3.233.047 atau 82,19 % menggunakan bahasa daerah , dan 260.156 orang atau 6,61% menggunakan bahasa asing, sehingga dapat disimpulkan bahwa Suku Dayak lebih dominan mengunakan Bahasa daerah dibanding bahasa Indonesia (BPS, 2017).  Kebiasaan masyarakat Dayak yang selama ini masih menggunakan bahasa daerah menyebabkan terbatasnya kemampuan dalam akses informasi dan inovasi teknologi khususnya bidang pertanian. Hal ini menghambat kemampuan mereka untuk meningkatkan produktifitas usahatani, pendapatan dan kesejahteraannya. Belum lagi fakta bahwa tidak semua penyuluh di BP3K Entikong mampu menggunakan Bahasa Dayak dalam melakukan penyuluhan pertanian.

Kendala yang kedua adalah lokasi lahan yang sulit diakses. Mayoritas lahan pertanian yang dimiliki oleh petani di Kecamatan Entikong berada ditengah hutan dan jauh dari pemukiman. Biasanya dibutuhkan waktu 30 menit untuk sampai kelahan petani, belum lagi medan yang berat akibat tanah gambut yang licin dan sulit dilewati sepeda motor. Permasalahan dari sudut pandang penyuluh yaitu perlu waktu dan biaya yang besar untuk melakukan satu kali penyuluhan, sedangkan fasilitas dan gaji terbatas. Meskipun telah dijadwalkan, seringkali penyuluhan tertunda akibat lahan tidak dapat diakses akibat hujan dan sebagainya.

Kendala ketiga adalah latar belakang pendidikan petani yang masih rendah. Saya pernah melakukan kajian untuk mengukur tingkat perubahan pengetahuan petani setelah mendapatkan penyuluhan pertanian menggunakan instrumen berupa kuisioner atau pertanyaan pilihan berganda. Data pretest (sebelum penyuluhan) diperoleh tingkat pengetahuan petani senilai 41,75% (Skala C) atau sedang sedangkan pada posttest (setelah penyuluhan) diperoleh tingkat pengetahuan petani senilai 63,32% (Skala B) atau Tinggi. Hasil analisa tingkat perubahan pengetahuan petani dalam kegiatan penyuluhan pertanian menunjukan bahwa perubahan pengetahuan petani dalam kategori rendah yakni hanya sekitar 21 % , Salah satu faktor yang mempengaruhi yakni pendidikan dan umur. Faktor - faktor tersebut sangat berpengaruh terhadap keberhasilan penyuluhan pertanian, sebagaimana yang dikatakan oleh Mardikanto (2009) bahwa kapasitas belajar seseorang akan dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan seseorang dan cenderung melaksanakan kegiatan-kegiatan yang sudah biasa diterapkan oleh masyarakat setempat.

            Beberapa solusi terbaik untuk mengatasi permasalahan diatas adalah dengan melakukan pendekatan teknis dan pendekatan non teknis. Pendekatan teknis untuk mengefisiensikan keberhasilan penyuluhan pertanian seperti melakukan penyuluhan ditempat yang mudah diakses, menyesuaikan jadwal penyuluhan dengan keadaan cuaca, dan sebagainya. Pendekatan non teknis yang bisa dilakukan adalah dengan mempelajari budaya petani suku Dayak sehingga terjadi hubungan yang erat, seperti yang ditegaskan oleh De Vito (1997) yang menyatakan bahwa setiap masyarakat memiliki cara tersendiri dalam berkomunikasi, termasuk dalam pola komunikasi interpersonal di dalam komunitasnya. Selain itu, penyuluhan pertanian bisa juga menggunakan media penyuluhan yang menarik dan bersifat non verbal sehingga memudahkan petani Dayak dalam mengadopsi materi penyuluhan yang disampaikan. Ricardo Ramirez (1997) dalam Understanding Farmers' Communication Networks: Combining PRA With Agricultural Knowledge Systems Analysis mengkritisi sistem model Transfer of Teknology(TOT) yang dianggap terjadi tumpang tindih antara kepentingan peneliti, petani dan penyuluh. Riset yang dihasilkan peneliti seringkali tidak menjawab permasalahan prioritas petani sehingga tidak terjadi hubungan dua arah antara petani dan peneliti. Ricardo Ramirez menyarankan sistem RAAKS untuk dikembangkan di negara berkembang. Rapid Appraisal of Agricultural Knowledge Systems (RAAKS) merupakan metodologi yang dipelopori oleh Engel and Solomon (1994) berisi metode yang memiliki langkah -- langkah konkret dan sistematis dalam memahami tingkat pengetahuan petani berbasis partisipatif, sehingga  penyuluhan bisa lebih tepat sasaran secara materi penyuluhan dan sasaran.

            Solusi lainnya adalah dengan memberikan amanah kepada salah satu petani sebagai penyuluh swadaya. Penyuluh swadaya bisa dijadikan sebagai penyambung lidah penyuluh BP3K Entikong. Secara naluriah, tentu saja komonitas lebih tertarik terhadap informasi yang diberikan oleh orang yang berada didalam komonitas yang sama dibandingkan dengan orang yang berada diluar komonitas. Pengetahuan dan kemampuan Bahasa Dayak yang dimiliki oleh penyuluh swadaya akan memberikan kemudahan yang besar terhadap difusi informasi dari penyuluh kepada petani Dayak di Kecamatan Entikong.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun