Ahlusunnah Wal Jama’ah (ASWAJA) acap kali terdengar atau dimunculkan ketika kaum Nahdliyin hadir dalam ruang-ruang intelektual, baik dalam ruang lingkup yang kecil hingga cakupan yang lebih luas. Salah satunya oleh warga Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Dengan begitu, semuanya sepakat bahwa ASWAJA menjadi kerangka pemikiran kolektif yang mampu menciptakan ruang kehidupan bermasyarakat yang madani. Kita sadari bersama hadirnya pemikiran-pemikiran ala ASWAJA ini sudah mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia sejak lama, kita ambil saja secara sederhananya dari bangsa ini merdeka hingga sampai saat ini kita hidup dengan banyak kemajuan teknologi yang mutakhir. Tentunya kerangka pemikiran ala ASWAJA ini melalui atau mendapatkan tantangan-tantangan yang menarik dari setiap masanya dalam perjalanan perkembangan bangsa ini.
Mengulas kembali di tahun 1994, KH Said Agil Siraj mencoba mereformulasikan ASWAJA yang sampai saat itu diperlakukan sebagai sebuah madzhab (qauli). Padahal di dalam ASWAJA terdapat berbagai madzhab, khususnya dalam bidang fiqh. Selain itu, melihat perkembangan zaman yang sangat cepat dan membutuhkan respon yang kontekstual dan cepat pula. Dari latar belakang tersebut dan dari penelusuran terhadap bangunan isi ASWAJA sebagaimana selama ini digunakan, lahirlah gagasan Ahlussunnah Wal Jama’ah sebagai manhaj al-fikr (metode berpikir). Sebagai manhaj, ASWAJA menjadi lebih fleksibel dan memungkinkan bagi pengamalnya untuk menciptakan ruang kreatifitas dan menelorkan ikhtiar-ikhtiar baru untuk menjawab perkembangan zaman.
Sejak independennya PMII pada 14 Juli 1972 di Malang dari NU, ini menjadi keputusan yang sangat tepat dan memberi peluang lebih bagi PMII untuk kedepannya pada saat itu. Terbukti kini PMII dengan perkembangan organisai yang begitu masif dan kuantitas kader yang sangat banyak, mampu membuat PMII menjadi organisasi kemahasiswaan terbesar di bangsa ini. Dengan kuantitas kader yang banyak juga, ini menjadi PR dan tantangan bagi PMII sendiri, bahwasannya perkembangan kuantitas ini harus mampu diimbangi dengan perkembangan kualitasnya, dan tentunya perkembangan kualitas para kader PMII harus mampu memenuhi kebutuhan atau tuntutan zaman pada setiap masanya di bangsa ini. Maka dari itu, bagi penulis sendiri, tidak ada waktu untuk para kader PMII untuk terhanyut dengan kebiasaan budaya “pop” saat ini yang mewabah pada kehidupan kaum muda pada umumnya.
Dengan independennya PMII dari NU bukan mengartikan bahwa kedua organisasi itu sudah tidak memiliki kesamaan visi lagi dalam proses perjuangannya, melainkan hanya mempertegas bahwa PMII adalah suatu organisasi independen yang tidak memiliki keterkaitan atau ketergantungan dengan organisasi manapun secara hierarkinya. Tetapi, secara prinsip nilai dan visinya masih tetaplah sama dan akan selalu berjalan beriringan. Ini dibuktikan dengan PMII melalui mukaddimah dalam AD/ART-nya yang akan kita kutip pada paragraf terakhirnya lebih tepatnya seperti ini, “Maka atas berkat rahmat Allah SWT, dibentuklah Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia yang berhaluan Ahlussunah Wal Jama’ah”. Dan PMII pun meyakini sebagaimana dengan reformulasi ASWAJA yang dibawa oleh KH. Said Aqil Siraj yang sempat kita bahas sebelumnya bahwa ASWAJA ini di jadikan sebagai kerangka berpikir dan juga bergerak, atau sering kita sebut dengan Ahlusunnah Wal Jama’ah sebagai manhaj al-fikr wal harokah.
Dengan prinsip organisasi yang seperti itu, PMII memiliki posisi yang berpengaruh dan peluang besar di bangsa ini. Karena melihat bangsa ini adalah bangsa yang besar dan memiliki kemajemukan dalam hal Suku, Ras, dan Agama (SARA). Maka PMII terus mengaktualisasikan komitmennya terhadap cita-cita perjuangan nasional yang berlandaskan Pancasila dalam visi keindonesiaannya dan komitmen menyiarkan islam yang berlandaskan dengan ajaran Ahlussunah Wal Jama’ah dalam visi keislamannya. Ranah perjuangan PMII dalam visi keindonesiaan kali ini masuk pada fase transformasi sosial ekonomi serta ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Sedangkan dalam visi keislamannya, PMII akan selalu mendakwahkan ihwal keberagaman dan perdamian pada ruang-ruang akademik atau mimbar kampus secara khususnya dan masyarakat pada umumnya. Maka, setelah ini, penulis akan mengajak sahabat berdiskusi perihal visi organisasi dengan keadaan bangsa saat ini.
Keadaan pendidikan khususnya pada perguruan tinggi saat ini di Indonesia sepertinya sudah banyak sekali hadir di Indonesia. Artinya, ruang kaderisasi PMII tersebar luas dari ujung sabang hingga ujung merauke, dan PMII tentunya memanfaatkan ruang pendidikan formal di bangsa ini khususnya perguruan tinggi untuk mengintegrasikan gagasan-gagasan demi kemajuan Indonesia dan terwujudnya cita-cita kemerdekaan. Sejatinya ruang akademik dan segala proses di dalamnya mampu menjadi jawaban bagi tantangan yang di hadapi oleh bangsanya, tetapi saat ini kebanyakan simbol akademik atau kampus hanya menjadi menara gading intelektual. Artinya proses transformasi sains dan ilmu pengetahuan yang terjadi di kampus hanya bersifat semu (pseudo-sains) dan menghasilkan mahasiswa yang seolah menghamba terhadap nilai yang belum tentu akan merubah nasibnya di masa yang akan datang. Berarti ini menandakan bahwa tidak terintegrasinya narasi besar cita-cita kemerdekaan Indonesia terhadap keberlangsungan ruang akademik. Sedangkan, tantangan yang di hadapi negara saat ini sangat membutuhkan kaum muda yang expert hal ihwal akademik ditengah kemajuan pesat IPTEK.
Kerangka pemikiran Ahlusunnah Wal Jama’ah dalam prinsipnya akan selalu memaksa manusia yang harus komitmen pada amanahnya sebagai mandataris Tuhan dalam setiap kehidupannya, tidak mengesampingkan proses pendidikan di dalamnya. Dan tentunya ini menjadi kunci untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia. PMII hadir dalam kehidupan ruang akademik untuk merealisasikan perihal itu. Dimana kader-kader PMII diharapkan melakukan pola gerakan yang mampu menjunjung tinggi nilai akademik dalam setiap langkah proses dirinya di dalam kehidupan kampus, tanpa mengesampingkan nilai kemerdekaan (al-hururiyah), persamaan (al-musawa), dan keadilan (al-‘adalah).
Langkah proses itu bilamana mampu dilakukan oleh kade-kader PMII, akan mampu menghantarkan kepada terrealisasinya komitmen mewujudkan cita-cita perjuangan nasional yang berlandaskan Pancasila. Ini menjadi narasi besar dalam langkah politik yang sesungguhnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Keberpihakan PMII terhadap masyarakat tercermin dalam hal ini. Sebagaimana prinsip berpolitik itu dicerminkan oleh Mahbub Djunaidi tatkala menuliskan kata pengantar dalam buku berjudul Pemikiran PMII dalam Berbagai Visi dan Persepsi (Aula, 1991). Esai yang ditulis oleh Mahbub berjudulkan PMII: Belajar dan Berpolitik – yang mana, ia memperingatkan bahwasannya sudah menjadi keharusan untuk menyeimbankan antara belajar dan berpolitik. Berpolitik yang dimaksud oleh Mahbub tidak lain adalah bermasyarakat, mengamati apa yang terjadi disekitar dan punya keberanian untuk bersuara membela yang benar.
Kali ini penulis mengulas terkait komitmen visi keislaman PMII dalam mendakwahkan keberagaman dan perdamaian yang sesuai ajaran Islam Ahlusunnah Wal Jama’ah sesuai konteks realita yang terjadi akhir-akhir ini yang mewabah dalam kehidupan masyarakat di negara ini, seakan kemajemukan yang ada selalu menyita perhatian lebih. Sangat disayangkan hal yang muncul di negara ini terkait keberagaman bukan perihal kerukunan masyarakat yang hidup dengan banyak perbedaan, tetapi yang sering menjadi perhatian ialah seakan-akan ada beberapa kelompok yang ingin menggerus kemajemukan dan perdamaian yang ada di bangsa ini. Dan sialnya ini berpengaruh terhadap ruang pendidikan yang ada di Indonesia, termasuk perguruan tinggi. Tentunya ini harus menjadi perhatian bagi seluruh kader PMII se-indonesia. Karna ruang pendidikan tadi kita sepakati bersama bahwa menjadi kendaraan yang tepat untuk menjawab seluruh tantangan yang dihadapi bangsa ini.
Narasi keberagaman di perguruan tinggi pun acapkali menyita perhatian. Ia terdiri dari komunal yang berangkat dari latar belakang yang berbeda suku, agama, budaya, dan ras maupun bahasa. Keseluruhan dari berbagai elemen yang ada kemudian menjadi satu – atas nama sivitas akademik. Dari sana, kemudian pelbagai pemahaman maupun ajaran ideologi, tak terkecuali dalam ranah Pendidikan agama. Fenomena yang kemudian terjadi adalah perkara akibat dari penyalahgunaan dari regulasi kebebasan akademik. Misalkan diantaranya adalah di kampus-kampus umum, kajian ilmiah keilmuan serta pengembangan pengetahuan dan teknologi kadang kalah dominan dibandingkan kajian agama yang diselipi pesan kelompok tertentu.