Sulit diingkari bahwa kasus HRS adalah cermin besar digdayanya politik balas dendam. Hukum yang harusnya menjadi panglima di negeri ini dibuat tunduk pada daulat kekuasaan. Pengadilan sebagai benteng terakhir para pencari keadilan pun seolah hanya alat legitimasi kepentingan kuasa. Mengingatkan pesan sang Begawan Hukum Progresif, Satjipto Raharjo, bahwa pengadilan harusnya menjadi rumah keadilan (hall of justice) bukan  rumah penjagalan (slaughter house).
Fenomena yang terbentang di atas sekaligus mencerminkan krisis kepemimpinan dan keteladanan pada ranah penegakan hukum. Kita surplus aparat hukum, tapi minus penegak hukum. Di tengah situasi itu, kita mendamba para figur pimpinan di setiap lembaga penegak hukum untuk berdiri tegak memberikan teladan profetik, sembari memberikan arah dan ketegasan sikap dalam memimpin penegakan hukum sebagaimana rel yang digariskan konstitusi. Saatnya kita memutus mata rantai politik dan kekuatan extra judicial lainnya dalam penegakan hukum. Agar hukum kembali berdaulat sesuai fitrahnya dan menutup ruang politik balas dendam. Sebagaimana  pesan Mahatma Gandhi, "jika mata dibalas dengan mata, maka dunia akan gelap gulita". Wallahu A'lam Bishawab.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H