Sang fajar mulai menghilang eksotisnya ketika saya mencoba mengukirkan catatan ini. begitu berat awalnya karena memang sudah lama jari-jari ini tak terlatih untuk sengaja mengukirkan persepsi-persepsi yang kadang timbul ataupun sengaja saya ciptakan. mulanya sebuah pengamatan singkat dan terbatas baik ruang maupun waktu. dimensi-dimensi inilah yang kiranya dapat menjadikan kita bergumul dengan persepsi-persepsi kita. mungkin inilah yang kiranya paulo freire konsepsikan tentang tema " pembebasan manusia dari ketertindasan melalui pola-pola penyadaran dengan sarana pendidikan" atau dengan bahasa sederhananya "pendidikan kaum tertindas". ini adalah judul salah satu buku beliau, versi penerbit indonesia yang kini ada satu meja dengan saya. ada juga disini buku dengan judul "humanisme dan humaniora relevansinya bagi pendidikan" sebuah kumpulan essay kalau boleh saya bilang. khusus membahas bagaimana konsepsi humanis sesungguhnya, sedikit radikal dengan mencantumkan term-term ateistik dari beberapa tokoh filsuf abad 19-20.
tapi bukan tentang isi kedua buku itu yang akan saya coba ukirkan disini tetapi makna eksistensi seorang pemimpin didalam aktualisasi sesungguhnya, apakah selama ini yang kita "gelari" seorang pemimpin mewakili secara sadar kepemimpinanya atau justru seorang "pecundang" yang menakdirkan dirinya sebagai pemimpin. banyak prespektif memang dengan menempatkan objeknya tetapi saya bukan akan menampilkan pemimpin bagi dirinya atau keluarganya, karena memang sudah tak perlu mengejawantahkanya sebagai tugas suci, sedangkan itulah yang pastinya dia dapatkan. kalau skup kedua itu telah terjadi ketidak sesuaian menurut hukum ideal, maka sebuah "penyakit" yang telah merenggutnya.pemimpin secara idioma saya arahkan kepada sebuah "jabatan" dalam sebuah perkumpulan seberapapun cakupan wilayah kekuasaanya atau seberapa banyak orang yang terpimpin dibawahnya. berbicara tentang kepemimpinan memang menjadi tak wajar kalau kita tak sangkut pautkan dengan sebuah kekuasaan. tetapi, ada sedikit garis kontadiktif dengan bentuk subjek dari kekuasaan itu sendiri yaitu penguasa. seorang pengusa lebih bergerak atau bertindak atas dasar hak dan kewenangan dia, sehingga cenderung bersikap otoritarian dan sepihak dengan segalanya. walaupun dalam beberapa kasus sikap seperti ini. maka, boleh saya katakan seorang pemimpin adalah sikap yang bertindak selaku agen penanggung jawab dari sebuah amanah. kepemimpinan adalah semangat yang bertolak dari sebuah spirit pengayoman dan pemelihara dari yang sudah ada atau yang akan diadakan oleh sebuah forum demokratis. sehingga, munculah gambaran-gambaran bahwa kebesaran seorang penguasa selalu identik dengan kemegahan dan kemewahan sementara keagungan seorang pemimpin lebih mengacu pada kesederhanaan dan jiwa mulia.
konsep kepemimpinan disini yang fundamentalis adalah sosok seseorang yang dapat berpengaruh maupun mempengaruhi untuk mencapai suatu rumusan dengan target tertentu. atrget yang saya maksud harus merepresentasikan sebuah semangat dari cita-cita dan kepentingan bagi kemaslahatan  bersama.kemudian konsepsi sifat-sifat seorang pemimpin pun turut mempengaruhi kediriannya yaitu seseorang yang dengan beraninya mengamil inisiatif-inisiatif yang justru berbeda dari yang lainya ataupun menterjemahkan secara sederhana dari inisiatif diluar dirinya, berani menggunakan wewenangnya tanpa suatu tendensi keduniawian bagi dirinya atau keluarganya, berani mengambil keputusan, dia juga harus benar-benar menjiwai dan juga berkarakter, bersikap layaknya seorang pemimpin.
teringat lagi dari seorang sosok pemimpin sejati pada masa lalu yaitu umar bin abdul aziz, ketika itu beliau sedang sibuk dengan tugas kenegaraannya berteman dengan lampu minyak yang menjadi teman penerang ketika beliau bekerja. datanglah anak beliau sembari menanyakan tentang kesibukannya, dengan lirih anaknya mengungkapkan maksud hati untuk sedialah beliau berbincang-bincang. dengan lantang beliau menanyakan maksud tersebut  "apakah urusan negara atau urusan pribadi yang akan engkau bincangkan nak ??" dengan tutur ta'dimnya si anak menjawab "ini adalah urusan keluarga ya ayahku". dan selanjutnya inilah yang saya maksud bahwa sosok pemimpin sejati yang tercermin pada diri beliau. kemudian beliau mematikan lampu minyak yang tadi menemani beliau bekerja mengurus negara, karena memang tidak ada kepentingan negara yang akan beliau bicarakan dengan anaknya itu. sosok seperti ini yang kiranya kita dambakan dewasa ini, tetapi bertolak belakang dengan apa yang sering kita saksikan baik dimedia cetak maupun elektronik, pemimpin "penguasa" kita lebih mendambakan kehidupan-kehidupan yang sekiranya dapat mereka dapat setelah menduduki sebuah jawatan terpandang. sikap seperti itu memang hak pribadi individu dengan kebebasannya menciptakan dunia secara sepihak. tetapi ketika, hak itu mereka "jerumuskan" kedalam kewajibanya terhadap amanah yang diemban maka menjadi absurd lah hak itu.
ingat juga bahwa keterciptaan manusia didunia ini adalah menjadi seorang pemimpin baik bagi dirinya, keluarganya, atau kelompok-kelompoknya. tugas seorang pemimpin memanglah berat, selain mempertanggung jawabkannya dihadapan masyarakat, ia juga mempertanggungjawabkan di hadapan Tuhannya nanti. Bagaimana, tidak mudah dan tidak sulit bukan ?.
Setunggal cofee, 19.55
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H