Beberapa waktu lalu, terdapat peristiwa yang menimbulkan banyak kontroversial terutama bagi umat islam di Indonesia. Pasalnya, beberapa orang dari salah satu organisasi islam terbesar di Indonesia ( Nahdlatul Ulama ), melakukan kunjungan ke Israel dan bertemu presiden Israel Isaac Herzog. Pertemuan itu berbuntut panjang karena Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tak pernah memberikan izin atas pertemuan tersebut.
Ketua PBNU Savic Ali, mengatakan bahwa ia sangat menyesali lima orang Nahdliyin yang melakukan pertemuan tersebut. Meskipun tidak diketahui apa tujuan sebenarnya pertemuan tersebut dan siapa yang mensponsorinya. Tindakan yang dilakukan lima orang Nahdliyin itu tetap saja sebagai tindakan yang disesalkan. Savic Ali juga mengatakan bahwa kunjungan lima Nahdliyin itu bukan dilakukan atas nama NU melainkan atas nama mereka pribadi.
Tapi tetap saja, tidak ada hal yang bisa dibenarkan dari tindakan tersebut. Selain para Nahdliyin itu melakukan tindakan tersebut tanpa izin PBNU, melakukan kunjungan ke negara yang menjadi musuh umat Islam dan sekaligus bertemu dengan presiden disana adalah tindakan yang sama sekali tidak pantas dilakukan oleh orang yang berasal dari salah satu organisasi islam terbesar di Indonesia. Tindakan mereka dinilai tidak memahami kebijakan NU secara organisasi dan juga tidak memikirkan perasaan seluruh warga NU.
Banyak sekali hal yang bisa dikritik dari tindakan yang dilakukan Nahdliyin tersebut. Kritik secara agama, politis, sosial, maupun kritik secara etis. Dimulai dari kritik secara agama, kunjungan yang dilakukan Nahdliyin ke Israel dinilai sangat mengabaikan nasib umat islam yang ada di Palestina. Selain itu, dengan berkunjungnya beberapa Nahdliyin ke Israel dianggap sangat bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang sangat jelas mendukung perjuangan Palestina.
Secara politis, kunjungan itu mengandung pelanggaran resolusi Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang melarang kunjungan ke Israel. Sikap resmi NU yang sangat mendukung perjuangan Palestina juga sangat bertentangan dengan kelakuan lima orang Nahdliyin itu. Mengkhawatirkan normalisasi hubungan dengan Israel juga termasuk kedalam kritik secara politis.
Kritik sosial yang bisa disampaikan dari kunjungan itu adalah mereka mengabaikan sentimen masyarakat Indonesia yang dikenal sebagai anti Israel. Para Nahdliyin yang melakukan kunjungan itu juga mereka dengan sendirinya merusak citra NU sebagai organisasi yang mendukung perjuangan Palestina. Tidak hanya itu, akibat dari kunjungan yang mereka lakukan juga bisa membuat perpecahan di kalangan umat Islam.
Kunjungan itu juga bisa dikritik secara etis. Diantaranya adalah mereka mengabaikan prinsip keadilan dan kesetaraan karena kunjungan tersebut. Mereka juga melanggar etika jurnalistik dengan tidak menampilkan sudut pandang Palestina, serta menggunakan kunjungan untuk kepentingan pribadi atau politik.
Hal yang bisa dilakukan saat ini oleh pihak NU adalah mereka bisa melakukan evaluasi kebijakan NU terkait Israel-Palestina. Pihak NU juga harus memperkuat komunikasi internal dan eksternal. NU juga harus lebih menjaga konsistensi mereka dalam menjaga nilai-nilai Islam terutama dalam tindakan politik.
Kita sebagai masyarakat biasa yang bisa kita lakukan adalah lebih menjaga kesatuan dan konsistensi dalam kebijakan organisasi. Kita juga bisa mengkritisi kebijakan NU secara konstruktif. Pengetahuan tentang isu Israel-Palestina juga harus lebih kita tingkatkan dan pahami secara maksimal. Doa dan dukungan kita juga tidak boleh lupa agar saudara kita di Palestina mendapat dukungan moral dan selalu dijaga oleh Allah SWT. Dan juga kita harus selalu ingat bahwa agama harus selalu menjadi sumber kebijaksanaan, bukan politisasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H