Nepotisme dan patronklien udah jadi masalah yang sering banget kita lihat, mulai dari politik sampai dunia kerja. Dua hal ini bikin sistem yang idealnya adil dan berbasis kompetensi jadi rusak. Nepotisme itu waktu posisi penting diisi sama keluarga atau kerabat tanpa melihat kemampuan mereka. Akibatnya, orang yang lebih kompeten malah nggak dapat kesempatan dan organisasi jadi nggak efektif karena dipegang sama orang yang nggak mumpuni.
Di sisi lain, patronklien itu hubungan yang bikin ketergantungan. Patron biasanya ngasih bantuan buat klien, dan sebagai gantinya klien harus loyal atau dukung patron itu. Sayangnya, hubungan ini lebih menguntungkan pihak patron, dan klien tetap berada di posisi lemah. Masalah lainnya, sistem ini memperburuk ketimpangan sosial. Mereka yang punya koneksi gampang banget dapat peluang, sedangkan yang nggak punya akses terpinggirkan. Ini bikin jurang antara elit dan masyarakat biasa makin lebar. Selain itu, nepotisme dan patronklien juga bikin institusi jadi lemah. Posisi penting jadi diisi orang yang nggak kompeten, yang akhirnya ngurangin kredibilitas dan efektivitas organisasi. Masyarakat jadi kehilangan kepercayaan terhadap sistem yang ada.
Menurut saya beberapa langkah yang harus dilakukan. Edukasi soal pentingnya meritokrasi harus mulai digencarkan. Masyarakat perlu ngerti kalau kemampuan dan kompetensi jauh lebih penting daripada koneksi. Selain itu, proses rekrutmen atau seleksi jabatan harus lebih transparan biar nggak ada lagi "main belakang." Penegakan hukum juga harus tegas untuk ngasih efek jera ke pelaku nepotisme dan kolusi. Nepotisme dan patronklien emang udah jadi masalah lama, tapi kalau terus dibiarkan, ini bakal terus ngehambat kemajuan masyarakat. Kita, sebagai generasi muda, harus mulai bergerak buat mendorong perubahan ke arah sistem yang lebih adil dan menghargai kompetensi. Kalau nggak mulai sekarang, kapan lagi?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI