Mohon tunggu...
Rifqi Fadhlurrachman
Rifqi Fadhlurrachman Mohon Tunggu... -

International Relations UNPAS '12 / Editor @CSSJournal\r\nrifqifrakhman.tumblr.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Juru Selamat Sepak Bola dan Politik

20 Oktober 2013   21:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:15 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Akhir-akhir ini publik sepakbola tanah air sedang berseri-seri, Garuda Muda berhasil menggondol tropi piala AFF U-19 ke tanah airjuga permainan gemilang pada laga penyisihan grup terlebih ketika menekuk lutut Korea Selatan dengan skor 3 - 2 yang berpredikat sebagai juara bertahan AFC U-19 dan berhasil memastikan tiket untuk berlaga pada putaran final Piala Asia U-19tahun depan di Myanmar.Pujian,sanjugan dan ucapan selamat untuk para punggawa Garuda Muda membanjiri linimasa media sosial sampai dalam perbincangan diwarung kopi setelah sekian lama publik hanya mendapati berita-berita kurang menyenangkan dari Timnas—terutama Tim Senior. Tak ketinggalan media cetak dan elektronik daerah sampai nasional terus menampilkan berita mengenai Timnas U-19.

Banyak orang mengatakan cemerlangnya permainan Timnas U-19 Indonesia dikarenakan faktor usia yang cenderung masih mau mendengarkan arahan pelatih, juga kerjasama tim yang sangat solid. Berbeda dengan para seniornya yang dalam setiap laganya sangat menggemaskan (dalam konotasi negatif), akhirnya ketika akan menjalani laga lanjutan penyisihan grup piala AFC melawan China di Jakarta 17 Oktober kemarin Timnas senior memikul beban berat yang diletakan publik, yaitu permainan memikat dan poin penuh seperti apa yang diperagakan oleh para juniornya.

Evan Dimas dkk memberikan suatu pencerahan bagi publik sepak bola Indonesia yang telah lama rindu akan kemenanganketika peluit akhir di bunyikan, para anak muda itu berhasil membuat anak-anak yang ogah pergi ke lapangan sepakbola kembali memainkan bolanya dan kembali menancapkan tiang gawang yang sengaja dilepas karena kebetulan sedang dijadikan jemuran oleh ibu RT.

Jelang sepekan setelah laga melawan Korea Selatan, berita mengenai Timas U-19 masih ramai di media, bukan soal permainannya di lapangan pada laga-laga sebelumnya namun mengenai keberlanjutan masa depan para pungguwa Timnas, dari mulai berita sang captain Evan Dimas yang akan bergabung dengan tim IPL Persebaya 1928 yang terancam tidak akan mendapat lisensi profesional dari PSSI jika berlaga di kancah IPL, larangan menjadi bintang iklan atau mengenai Coach Indra Sjafri yang kontraknya belum jelas sampai detik ini.

Yang paling menyita perhatian adalah larangan para pemain Timnas U-19 untuk bergabung bersama klub profesional Liga Indonesia, banyak orang beranggapan atau mengkhawatirkan mereka akan terkontaminasi oleh efek negatif atmosfir sepakbola Indonesia yang begitu kacau. Lantas apa yang akan dilakukan oleh PSSI pada Timnas U-19 ini? Sampai sekarang masih mengambang.

Dengan negatifnya sambutan publik sepakbola Indonesia pada isyu mengenai para pemain Timnas U-19 yang akan bergabung dengan klub berarti memang menyadari betul keadaan dunia sepakbola tanah air memang tidak sehat, bukan hanya pemainnya saja termasuk juga pengelolaan kompetisinya, singkatnya memahami betul sistem yang berjalan benar-benar bermasalah. Dan ketika sistem yang bermasalah ini benar-benar disadari oleh semua orang, lantas mengapa kita tidak bisa ambil bagian dalam pengobatan sistem sepakbola nasional yang sedang sakit ini?.

Bila boleh sedikit melontarkan candaan, jawabannya adalah mari amati dunia politik indonesia saat ini, tidak perlu membaca buku-buku yang tebalnya lebih dari 400 halaman namun cukup dengan menonton berita politik di televisi sembari bercengkrama dengan gadget anda jika sewaktu-waktu merasa kesal milihat para koruptor masih bisa tersenyum manis ketika keluar dari gedung KPK, anda pasti perlu menuangkannya pada media sosial.

Korupsi adalah kata yang sangat familiar ditelinga kita, membicarakan pejabat yang melakukan korupsi bukan lagi merupakan hal yang tabu seperti pada masa Orde Baru, semua orang boleh membicarakannya tanpa takut akan di ciduk intelejen, dari mulai analisis struktural oleh para ahli dilayar televisi sampai umpatan dengan kata-kata kotor oleh intelektual puber berseliweran di twitter. Kita benar-benar muak dengan berita-berita itu namun selalu ingin tahu, siapa aktornya, bagaimana melakukannya, berapa jumlahnya dan dengan siapa saja melakukannya, semua informasi itu kita buru walaupun untuk sekedar bahan diskusi di warung nasi.

Bagi yang mempunyai akses lebih pada informasi-informasi itu jelas kritik moral sudah tidak pernah lagi menjadi pemuas dahaga mengutarakan opini, sama halnya kekhawatiran kita pada masa depan Timnas di bawah pengelolaan sepakbola nasional yang amburadul, yaitu memahami sistem. Dalam hal korupsi pun sekarang semuanya tertuju pada dunia politik saat ini yang memungkinkan terjadinya korupsi secara sistemik.

Kasus-kasus korupsijelas tidak membuat kita frustasi dan menjadi apatis, hari ini kita selalu mendambakan orang-orang yang dianggap bersih dan berkompeten untuk menyelamatkan negara ini dengan turun pada kontestasi politik daerah atau nasional, figur muda terutama merupakan seorang akademisi baru-baru ini menjadi perhatian banyak kalangan yang menunggu juru selamat untuk membuat sehat demokrasi dan mengembalikan politik sebagai sesuatu yang mulia. Para akademisi yang sebaiknya tidak turun langsung pada kontestasi politik memberanikan diri untuk terjun, melalui jalur independen atau bergabung bersama partai politik walaupun sebenarnya tidak ada larangan dan juga merupakan hak sebagai warga negara.

Jika kita sangat mengkhawatirkan masa depan Timnas U-19 dan para punggawanya bergabung dengan klub yang berkompetisi dibawah otoritas sepakbola nasional yang kita tahu tidak beres, apakah kita memiliki kengkhawatiran yang sama kepada para tokoh muda atau akademisi itu bergabung dalam barisan yang berisi politisi-politisi kotor ketika masuk dalam sistem yang sudah kita ketahui penyakitnya? Bagaimana masa depan para juru selamat itu jika masuk ke dalam sistem yang kita ketahui sendiri keadaannya?.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun