Sedikit telat untuk menuliskan tentang PPSMB Palapa. Namun sengaja supaya eskalasi pemberitaan tentang PPSMB menurun dahulu. Ketika sudah mulai dilupakan karena berbagai isu kampus yang lain, barulah saya menuliskan tentang hal ini dari sudut pandang yang berbeda. Jadi PPSMB adalah singkatan dari Pelatihan Pembelajaran Sukses Mahasiswa Baru yang rutin diadakan di UGM setiap tahun. Kegiatan yang dilakukan selama sepekan ini bertujuan untuk mengenalkan dunia kampus kepada mahasiswa baru UGM. PPSMB di lingkungan UGM terdiri dari dua jenis, yang pertama PPSMB lingkup universitas, yang kedua PPSMB lingkup fakultas. PPSMB Palapa adalah PPSMB yang dilaksanakan di tingkat universitas, diikuti sekitar 9500 mahasiswa baru UGM dan melibatkan 700 panitia.
PPSMB telah berakhir tepat dua minggu yang lalu. Selama satu minggu setelah dilaksanakannya PPSMB, kita melihat bahwa pemberitaan mengenai PPSMB Palapa UGM begitu masif di media cetak, elektronik dan utamanya media sosial. Para gadjah mada muda (gamada) yang tahun ini melakukan selebrasi dengan membentuk logo ASEAN, berhasil membuat bangga nama UGM di kancah nasional, bahkan akun resmi dari ASEAN ikut dalam mempublikasikan acara ini. Hal ini berarti sedikit banyak ada masyarakat internasional yang juga mengetahui bahwa UGM sedang melakukan selebrasi yang luar biasa.
Saya sebagai bagian kecil dari kepanitiaan PPSMB Palapa 2015 tentunya juga ikut merasa bangga. Teringat bahwa untuk mempersiapkan segala tetek bengek PPSMB dan selebrasi penutupan khususnya, perjuangan yang kami lakukan adalah tidur hanya sekitar maksimal 5 jam ketika mendekati pekan-pekan PPSMB. Ketika kami melihat selebrasi itu, maka ada rasa bahagia yang teramat luar biasa, bahwa kerja keras kami bersama akhirnya terbayar lunas. Para gamada senang, dosen senang, panitia pun senang. Tak ada yang merasa lupa bahagia saat hari penutupan itu.
Namun beberapa hari kemudian, ada yang mengganjal dalam hati mengenai pelaksanaan PPSMB. Diawali dengan suatu koran yang memuat headline, “Pentas Seni Bernilai 1,9 M”. Judul yang sangat provokatif bagi kami, pihak yang langsung turun untuk PPSMB. Berita itu kami yakin tidak benar, wartawan yang memuat telah salah tafsir bahwa uang 1,9 M itu sebenarnya adalah biaya PPSMB keseluruhan, karena untuk konsumsi 10.000 orang pun sudah menghabiskan 1,3 M. Jadi 1,9 M itu bukan hanya untuk kepentingan penutupan PPSMB saja.
Diatas itu semua, kami akui bahwa penutupan PPSMB itu memerlukan biaya yang luar biasa besar. Mulai dari konsumsi, panggung beserta perlengkapannya, layar LED, perangkat dokumentasi dan sebagainya. Bahkan ada satu panggung utama yang besar, yang akhirnya tersia-siakan tidak jadi dipakai untuk kebutuhan acara meskipun sudah terlanjur dipasang. Hal-hal ini tentunya sejenak membuat kami berpikir. Selebrasi PPSMB yang megah ini agak sedikit kontradiktif dengan citra UGM sebagai universitas kerakyatan ditambah dengan pernyataan pimpinan rektorat yang menyebutkan bahwa 70% mahasiswa UGM berasal dari kalangan tidak mampu dan ketika dibenturkan pada fakta bahwa biaya kuliah di UGM saat ini termasuk mahal.
UGM tak pernah mencari kejayaan
Ketika masyarakat UGM menyanyikan hymne Gadjah Mada, ada suatu hal yang unik jika mereka benar-benar mencermatinya. Lagu itu sama sekali tidak pernah menyebutkan kejayaan Gadjah Mada, yang ada kejayaan Indonesia pada bait pertama, dan kejayaan nusantara pada bait kedua. Para pendiri UGM telah menentukan cita-cita UGM saat awal terbentuknya universitas ini, bahwa UGM tak akan pernah mencari kejayaan bagi dirinya sendiri, tetapi UGM adalah motor utama bagi pergerakan bangsa Indonesia menuju kejayaan.
Pun dengan PPSMB, sebagai salah satu kegiatan akbar yang diadakan dalam lingkup UGM. Bukan pada tempatnya, jika PPSMB hanya menonjolkan sisi megahnya saja. Kemegahan itu mungkin bagus untuk pencitraan. Namun pencitraan itu hanya dibutuhkan di awal, dan universitas sekelas UGM bukanlah universitas yang diharapkan memiliki kualitas sekadar untuk mencitrakan diri saja.
Kiranya panitia PPSMB tahun depan harus bekerja lebih keras karena kami yakin bahwa selebrasi penutupan dengan membuat logo tertentu sudah cukup jenuh. UGM sudah cukup menginspirasi kepada adik-adik UI, ITS, IPB, UNS dan universitas lain untuk membuat suatu logo pada saat penutupan masa pengenalan kampus. Untuk tahun depan mungkin menurut saya pribadi harus ada langkah kreatif baru untuk membuat penutupan PPSMB menjadi lebih sederhana namun efeknya dapat langsung ke lingkungan yang lebih luas. Saya jujur kagum dengan kampus ITS yang memasukkan kegiatan sholat subuh berjamaah dalam pekan ospeknya. Suatu gebrakan yang luar biasa!