Mohon tunggu...
Rifqi Alvian
Rifqi Alvian Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hallo perkenalkan saya Rifqi Alvian seorang mahasiswa Ilmu Komunikasi dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Menulis menjadi bagian dari hobby saya karena disini semua bisa saya ceritakan dan berbagi pengalaman dengan banyak orang.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

FOMO (Fear Of Missing Out) Menjadi Sifat Konsumerisme

10 Januari 2024   13:18 Diperbarui: 10 Januari 2024   13:51 676
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dalam era digital yang terus berkembang, fenomena FOMO (Fear Of Missing Out) telah menjadi bagian integral dari kehidupan budaya populer. Fear of Missing Out (FOMO) adalah kecemasan atau kekhawatiran seseorang untuk melewatkan pengalaman atau informasi yang menarik atau penting yang dialami oleh orang lain, terutama melalui media sosial. FOMO dapat menyebabkan seseorang merasa tertekan atau cemas karena merasa tidak terhubung dengan orang lain atau tidak mendapatkan pengalaman yang sama dengan orang lain, terutama dalam konteks media sosial dan kehidupan sehari-hari (Natasha et al., 2022). 

FOMO pada awalnya muncul sebagai reaksi psikologis terhadap perasaan tertinggal dari informasi atau pengalaman sosial yang sedang tren, namun seiring dengan waktu, telah meluas menjadi aspek yang menggiring seseorang ke dalam perilaku konsumerisme yang mencolok. Keterikatan mahasiswa dengan gaya hidup FOMO di era digital merupakan hal yang menarik untuk diselidiki. Gaya hidup ini tidak hanya mencakup keinginan untuk terhubung dengan berbagai informasi dan tren terkini, tetapi juga melibatkan dorongan untuk membeli dan mengkonsumsi barang atau layanan tertentu sebagai bagian dari kebutuhan untuk merasakan keterlibatan dalam suatu kelompok atau tren. Dalam konteks ini, kehadiran media sosial dan teknologi telah memainkan peran penting dalam memperkuat dan memperluas dampak FOMO di kalangan mahasiswa.

Kajian ini akan menggali lebih dalam tentang bagaimana gaya hidup mahasiswa yang dipengaruhi oleh FOMO secara signifikan memengaruhi pola konsumsi mereka. Penelitian ini juga akan menyoroti peran media sosial, platform digital, dan strategi pemasaran dalam memperkuat dan bahkan memanfaatkan kecenderungan FOMO ini untuk meningkatkan konsumsi produk atau layanan tertentu.

Penting untuk memahami bahwa konsumerisme yang dipicu oleh FOMO tidak hanya memengaruhi perilaku konsumsi individu, tetapi juga memiliki implikasi yang lebih luas terhadap masyarakat dan lingkungan. Seseorang yang sering menggunakan media sosial dan menghabiskan banyak waktu pada platform media sosial sangat lebih mungkin merasakan FOMO  (Suhertina et al., 2022). 

Dorongan untuk terus mengikuti tren terbaru dapat menyebabkan pengeluaran yang berlebihan, meningkatkan tekanan finansial, dan pada gilirannya, menciptakan lingkungan yang lebih kompetitif dan konsumtif di antara masyarakat mahasiswa. Melalui artikel ini, diharapkan akan terungkap lebih jauh bagaimana FOMO telah menjadi faktor dominan dalam membentuk pola pikir dan perilaku mahasiswa dalam mengkonsumsi barang dan layanan. Dengan pemahaman yang lebih baik tentang dinamika ini, upaya yang dapat dilakukan untuk memberikan solusi yang konstruktif, baik dari segi pendidikan maupun sosial, untuk mengurangi dampak negatif konsumerisme yang dipicu oleh FOMO di kalangan mahasiswa.

Pergeseran paradigma dalam gaya hidup mahasiswa di era digital telah menimbulkan serangkaian masalah yang signifikan terkait dengan fenomena FOMO (Fear Of Missing Out). Salah satu permasalahan utama yang muncul adalah konsumerisme yang semakin membesar dan mengakar dalam pola pikir dan perilaku mahasiswa. FOMO, sebagai pemicu utama, telah menciptakan serangkaian dampak yang merugikan, di antaranya adalah:

  • Peningkatan Tekanan Sosial dan Psikologis: Mahasiswa merasa tertekan untuk terus mengikuti tren terbaru yang dipromosikan di media sosial atau oleh lingkungan sekitarnya. Hal ini menciptakan kecemasan akan ketinggalan informasi atau pengalaman, memperburuk rasa tidak aman dan kecemasan sosial. Misalnya, studi oleh Setiawan et al., (2022) menunjukkan bahwa penggunaan media sosial TikTok dapat mempengaruhi pola belajar mahasiswa dan menjadi tren yang diikuti oleh para remaja dan mahasiswa.
  • Ketergantungan pada Konsumsi: FOMO mendorong mahasiswa untuk merasa perlu membeli barang atau menggunakan layanan tertentu, bukan karena kebutuhan yang jelas, tetapi karena keinginan untuk merasa relevan dan terhubung dengan kelompok atau tren tertentu. Selain itu, FOMO juga dapat mempengaruhi perilaku konsumen dalam menggunakan media sosial dan dapat menyebabkan kecanduan media sosial (Anwar et al., 2022).
  • Pola Konsumsi yang Tidak Berkelanjutan: Dorongan untuk terus membeli barang atau layanan baru demi merasa "update" dapat menghasilkan pola konsumsi yang tidak bertanggung jawab secara finansial dan lingkungan. Mahasiswa cenderung mengikuti tren terbaru sebagai bagian dari gaya hidup masyarakat modern, yang dapat mendorong konsumsi yang tidak bertanggung jawab secara finansial (Kurniawan , 2016). Pemborosan dan peningkatan limbah dari barang-barang yang cepat usang menjadi masalah serius.
  • Pertumbuhan Mentalitas Materialistik: FOMO memperkuat gagasan bahwa kepemilikan barang-barang tertentu atau berpartisipasi dalam pengalaman tertentu akan meningkatkan status sosial. Ini menciptakan pola pikir materialistik di kalangan mahasiswa, yang dapat mengganggu perkembangan nilai-nilai non-materiil seperti empati, kepedulian sosial, dan kepuasan pribadi yang berkelanjutan.
  • Ketidakseimbangan Keuangan: Dorongan untuk terus membeli produk atau layanan demi memenuhi keinginan segera dapat menyebabkan ketidakseimbangan keuangan pada mahasiswa. Hal ini dapat mengakibatkan utang yang meningkat, stres finansial, dan kesulitan dalam merencanakan masa depan keuangan yang sehat.

Masalah-masalah ini merupakan hasil dari penetrasi mendalam FOMO dalam kehidupan mahasiswa di era digital. Mengenali dan mengatasi dampak negatif dari konsumerisme yang dipicu oleh FOMO menjadi krusial untuk mendukung kesejahteraan mental, keuangan, dan sosial para mahasiswa. Upaya pencegahan dan pendidikan yang tepat diperlukan untuk memandu mahasiswa dalam mengelola dampak psikologis dan perilaku konsumtif yang timbul dari tekanan FOMO ini.

Dampak negatif konsumerisme yang dipicu oleh FOMO (Fear Of Missing Out) di kalangan mahasiswa memerlukan pendekatan yang komprehensif dan berkelanjutan untuk mengurangi tekanan, membangun kesadaran, dan mempromosikan pola pikir yang lebih sehat. Berikut beberapa solusi yang dapat diimplementasikan:

  • Pendidikan dan Kesadaran: Pendidikan menjadi kunci dalam mengatasi dampak FOMO. Program-program pendidikan formal dan non-formal di institusi pendidikan tinggi harus mengintegrasikan pelajaran tentang literasi media sosial, manajemen keuangan, dan keterampilan mengelola emosi. Pendidikan yang baik dapat membantu siswa mengembangkan keterampilan sosial dan emosional, sehingga mereka dapat menghadapi situasi FOMO dengan lebih baik. Hal ini termasuk pemahaman komunikasi, empati, dan resiliensi (Yogyanti et al., 2021).
  • Kurikulum Adaptif: Pengembangan kurikulum yang adaptif akan membantu mahasiswa memahami dampak konsumerisme yang dipicu oleh FOMO. Kurikulum adaptif dapat mempromosikan kegiatan lokal yang menjadi alternatif bagi konsumsi yang tidak sehat bagi mahasiswa. Hal ini dapat membantu mahasiswa menemukan hobi yang lebih berkelanjutan dan berkesan dengan lingkungan sekitar mereka, sehingga mengurangi dampak FOMO yang disebabkan oleh konsumsi yang tidak sehat (Raharja et al., 2022).
  • Pengelolaan Media Sosial: Kampanye pengelolaan media sosial yang bijak dapat membantu mahasiswa menyadari manipulasi yang dilakukan oleh platform tersebut dalam memanfaatkan FOMO. Edukasi tentang praktik sehat dalam menggunakan media sosial, seperti membatasi waktu online, mengelola daftar kontak, dan menghindari perbandingan yang tidak sehat, menjadi penting.
  • Membangun Keterampilan Kritis: Pengembangan keterampilan kritis untuk menganalisis iklan, penawaran produk, dan tren yang dipromosikan akan membantu mahasiswa membuat keputusan yang lebih bijak dalam konsumsi. Ini dapat dilakukan melalui pelatihan dalam literasi media, penulisan kritis, dan analisis ekonomi perilaku.
  • Komitmen Institusional: Institusi pendidikan dan organisasi mahasiswa harus berkomitmen untuk menciptakan lingkungan yang mendukung keseimbangan antara kebutuhan pribadi dan tekanan sosial. Inisiatif seperti penyediaan konseling keuangan dan psikologis, serta ruang diskusi terbuka tentang permasalahan konsumerisme dan FOMO, akan memberikan sokongan penting kepada mahasiswa.
  • Pendekatan Holistik: Pendekatan yang holistik menggabungkan aspek psikologis, sosial, dan ekonomi diperlukan. Program pembinaan diri, meditasi, atau kegiatan yang meningkatkan kesadaran diri dapat membantu mahasiswa membangun ketahanan mental terhadap tekanan FOMO. Pendekatan holistik juga dapat berupa mempromosikan kegiatan lokal dan tradisional sebagai alternatif bagi konsumsi yang tidak sehat bagi mahasiswa (Cahyani, 2023).
  • Pengembangan Komunitas: Membangun komunitas yang mendukung nilai-nilai positif, seperti berbagi, kepedulian sosial, dan kolaborasi, dapat menjadi solusi kuat. Kebersamaan dalam menghargai pencapaian non-materiil dan mendukung satu sama lain dalam mengatasi tekanan konsumerisme dapat memperkuat mahasiswa secara kolektif.
  • Pengembangan Model Konsumsi Berkelanjutan: Mendorong mahasiswa untuk mempertimbangkan dampak lingkungan dari pola konsumsi mereka merupakan langkah penting. Inisiatif seperti program daur ulang, penggunaan produk ramah lingkungan, atau pendidikan tentang keberlanjutan dapat mempengaruhi pilihan konsumsi mereka.
  • Kolaborasi dengan Industri: Kolaborasi antara institusi pendidikan dengan industri dalam menciptakan kesadaran akan dampak konsumerisme yang dipicu oleh FOMO dapat membentuk praktik konsumsi yang lebih bertanggung jawab. Diskusi terbuka, seminar, atau proyek bersama dapat menjadi langkah awal. Kerjasama antara lembaga pemerintah, LSM (Lembaga Swadaya Mandiri), dan masyarakat sipil dapat meningkatkan partisipasi dan kesadaran masyarakat, memperkuat kapasitas dan sumber daya, serta mempercepat pencapaian tujuan bersama (Supriatna, 2023).

Menerapkan solusi-solusi ini memerlukan kerjasama antara institusi pendidikan, organisasi mahasiswa, pemerintah, dan masyarakat umum. Melalui upaya bersama ini, dapat dibangun kesadaran yang lebih luas tentang dampak negatif FOMO pada konsumerisme serta membantu mahasiswa mengembangkan pola pikir yang lebih sehat dan bertanggung jawab dalam mengelola tekanan sosial yang dihadapi di era digital ini.

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, A., Barokah, A., Widiya, I., Jam'ah, M., & Siagian, S. B. (2022). Faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Beragama dan Sosial Masyarakat serta Aktivitas Ibadah di Desa Simonis Kec. Aek Natas Kab. Labuhanbatu Utara. JIIP (Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan), 5(10), 4015--4019. https://doi.org/10.54371/jiip.v5i10.1001

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun