Marxisme yang dirumuskan oleh Karl Marx dan Fredrich Engels pada abad ke 19, lahir dari keresahan terhadap ketidakadilan sosial dan eksploitasi kelas pekerja pada masa Revolusi Industri. Ide ini memberi sudut pandnag baru dalam memahami ketimpangan sosial, dengan menyoroti konflik antara kelas pekerja (proletariat) dan pemilik modal (borjuis). Fokus utamanya adalah perjuangan kelas sebagai kunci perubahan sosial. Meski memberikan wawasan yang revolusioner, marxisme sering kali dikritik, baik dalam konsepnya maupun penerapan di dunia nyata.
Salah satu kritik utama terhadap marxsisme adalah sifatnya yang terlalu deterministik, yaitu beranggapan bahwa faktor ekonomi adalah penentu utama segala aspek kehidupan sosial, politik, dan budaya. Dalam pandangan ini, sejarah manusia dipandang sebagai perjuangan kelas yang sepenuhnya didorong oleh sistem produksi.
Namun, realitas masyarakat jauh lebih kompleks. Revolusi Prancis tahun 1789, misalnya, tidak hanya terjadi karena ketidakpuasan ekonomi, tetapi juga karena pengaruh nilai nilai kebebasan dan kesetaraan dari gerakan pencerahan. Perubahan sosial juga seringkali didorong oleh faktor ideologis, budaya, atau bahkan agama, yang tidak selalu berakar oleh konflik kelas. Penelitian dalam American Journal of Sociology juga mengungkapkan bahwa banyak gerakan sosial modern, seperti gerakan lingkungan atau keadilan gender lebih banyak dipengaruhi oleh perubahan nilai nilai budaya daripada konflik ekonomi semata.
Ketika ide marxisme diadopsi sebagai dasar pemerintahan, hasilnya seringkali jauh dari harapan. Negara negara seperti uni soviet dan china yang berupaya menerapkan sosialisme berbasis marxisme, menghadapi tantangan besar, bahkan menghasilkan tirani. Dibawah kepemimpinan Joseph Stalin, Uni Soviet menerapkan kebijakan kolektivitas yang menyebabkan kelaparan massal dan jutaan kematian. Kebijakan represif semacam ini menunjukan bahwa implementasu sosialisme sering kali menjadi alat kontrol politik daripada menciptakan keadilan sosial.
Selain itu, pertumbuhan ekonomi di negara negara sosialis cenderung stagnan dibandingkan dengan negara negara kapitalis. Misalnya, pertumbuhan ekonomi rata rata Uni Soviet pada era 1950-1980 hanya sekitar 5% per tahun, jauh tertinggal dibandingkan dengan jepang yang mencapai 10% oer tahun pada periode yang sama. Data ini menunjukan bahwa sistem ekonomi berbasis marxisme sering kali gagal memberikan hasil yang kompetitif.
Sistem ekonomi berbasis marxisme mengandalkan kepemilikan kolektif atas alat produksi. Namun, sistem ini seringkali menghilangkan insentif individu untuk bekerja keras atau berinovasi. Dalam sistem kapitalis, individu memiliki motivasi untuk meningkatkan produktivitas karena adanya peluang keuntungan pribadi. Sebaliknya, dalam sistem sosialis, kurangnya penghargaan terhadap pencapaian individu seringkali mematikan semangat inovasi. Sebuah studi oleh McKinsey Global Institute menunjukan bahwa negara negara dengan ekonomi pasar bebas, seperti jerman dan swedia, mampu menggabungkan kesejahteraan sosial dengan tingkat inovasi yang tinggi. Hal ini menjadi bukti bahwa insentif individu memainkan peran penting dalam mendorong kemajuan teknologi dan pertumbuhan ekonomi.
Marxsisme memandang bahwa kelas pekerja akan bersatu dalam perjuangan melawan kelas kapitalis. Dalam pandangan Marx, solidaritas kelas pekerja adalah kunci dari revolusi sosial yang akan menggulingkan sistem kapitalisme dan menggantinya dengan sosialisme. Marx berasumsi bahwa para pekerja meskipun berasal dari latar belakang yang berbeda, akan memiliki kesamaan dalam ketidakpuasannya terhadap kondisi ekonomi mereka dan akan berjuang bersama untuk membentuk masyarakt yang lebih adil.
Konsep solidaritas kelas pekerja yang universal ini sering kali terhambat oleh berbagai faktor yang memecah belah mereka. Faktor ini termasuk perbedaan etnis, agama , pendidikan, dan ideologi yang sangat berpengaruh pada cara pandang politik dan sosial mereka. Di banyak negara pekerja tidak selalu melihat kepentingan mereka sebagian bagian dari satu kesatuan yang utuh, melainkan terfragmentasi dalam kelompok berdasarkan identitas tertentu.
Contohnya, dalam konteks politik kita sering melihat identitas rasial, etnis, atau agama lebih sering mendominasi dalam menentukan pilihan politik individu, ketimbang hanya berdasarkan kesamaan kelas sosial. Misalnya dalam pemilihan umum dibanyak negara, kita dapat mengamati bahwa banyak orang memilih kandidatan politik berdasarkan identitas budaya atau kelompok etnis mereka daripada berdasarkan pakah kandidat tersebut mewakili kepentingan ekonomi sosial kelas pekerja. Di beberapa negara, isu isu seperti hak minoritas atau pengakuan terhadap kelompok tertentu lebih menjadi faktor penentu, bukan hanya masalah perjuangan kelas melawan kapitalis.
Selain itu, dalam beberapa kasus, kesadaran kelas yang diharapkan oleh Karl Marx tidak berkembang dengan baik. Dengan pekerja yang justru lebih merasa terhubung dengan kelompok sosial atau budaya mereka sendiri dibandingkan dengan solidaritas dengan pekerja lain yang memiliki profesi serupa. Misalnya pekerja yang berasal dari kelompok etnis tertentu mungkin lebih merasa solid dengan sesama etnis mereka daripada dengan pekerja lain yang bersal dari latar belakang yang berbeda.
Selain perbedaan identitas, perbedaan dalam kondidi ekonomi  juga menjadi faktor pemecah solidaritas kelas. Kelas pekerja tidaklah homogen, ada pekerja yang berada dalam industri dengan kondisi yang sangat buruk, sementara ada juga yang berada di sektor sektor yang lebih berkembang atau bahkan dalam poisisi yang lebih baik dari segi gaji dan fasilitas. Hal ini menciptakan disparitas internal dalam kelas pekerja itu sendiri, yang sulit untuk disatukan dalam perjuangan kelas yang murni. Banyak pekerja lebih cenderung untuk mencari solidaritas dengan mereka yang memiliki kondisi lebih mirip dengan mereka, atau bahkan dengan kelompok lain yang tidak berada dalam kelas pekerja sama sekali.