Mazhab Marxisme yang dirumuskan oleh Karl Marx dan Frederich Engels pada pertengahan abad ke-19 telah menjadi salah satu pemikiran yang paling berpengaruh dalam sejarah ekonomi dan sosial. Terutama selama periode revolusi industri. Pemikiran ini muncul sebagai respon sosial dan ekonomi yang sangat tidak adil pada masa itu, dimana banyak pekerja terjebak dalam eksploitasi dan kemiskinan ditengah pertumbuhan kekayaan yang pesat bagi segelintir orang. Sejak kemunculannya, marxisme memberikan wawasan tentang ketidakadilan sosial dan ekonomi, serta menyoroti peran penting dari perjuangan kelas dalam membentuk struktur masyarakat.
   Meskipun pemikiran ini juga berkontribusi dalam meningkatkan kesadaran tentang ekploitasi dalam masyarakat kapitalis dan memicu gerakan sosial yang berusaha memperjuangkan hak hak pekerja, marxisme tidak luput dari kritik. Banyak kritik yang muncul menyoroti kekurangan dan kegagalan dalam penrapan teori ini di dunia nyata. Kritik ini tidak hanya bersifat teoritis tetapi juga berdasarkan data dan fakta yang menunjukan hasil yang tidak diinginkan dari implementasi pemikiran marxisme, baik dalam konteks sosialisme yang diadopsi oleh berbagai negara maupun dalam pergerakan sosial yang terinspirasi oleh ide ide Marx dan Engels. Dengan demikian, meskipun pemikiran marxisme berpengaruh, tetapi juga menghadapi tantangan besar dalam menjawab kompleksitas realitas sosial dan ekonomi yang terus berkembang.
Salah satu kritik terhadap Marxisme adalah konsep determiniseme ekonomi, yang menyatakan bahwa semua aspek kehidupan sosial dan politik ditentukan oleh faktor ekonomi. Dalam pandangan Marx, sejarah manusia dianggap sebagai hasil dari perjuangan kelas yang di dorong oleh sistem produksi dan kelas pekerja yang hanya memiliki tenaga kerja adalah penggerak utama perubahan sosial. Banyak ahli menilai pendekatan ini terlalu menyederhanakan realitas masyarakat yang kompleks, contohnya Revolusi Prancis tahun1789 menunjukan bahwa perubahan sosial tidak hanya dipicu oleh konflik kelas atau ketidakpuasan ekonomi melainkan faktor lain seperti budaya, ideologi, dan politik, juga memainkan peran penting. Gerakan pencerahan yang menekankan nilai-nilai kebebasan, kesetaraan, dan hak asasi manusia juga memiliki pengaruh besar dalam memabangkitkan semangat revolusi.
Penelitian yang diterbitkan dalam American Journal of Sociology juga menunjukan bahwa gerakan sosial sering kali lebih dipengaruhi oleh perubahan nilai budaya daripada perjuangan kelas, misalnya banyak gerakan yang berfokus pada isu speerti gender, ras, dan lingkungan membuktikan bahwa perjuangan untuk keadilan sosial tidak selaku dapat dijelaskan hanya memalui perspektif ekonomi. Masyarakat adalah entitas yang sangat kompleks dimana berbagai faktor salong berinteraksi dan berkontribusi pada perubahan sosial.
Kritik lain juga muncul berkaitan dengan kegagalan implementasi pemikiran sosialisme di negara yang mengadopsi prinsip dari Marxisme. Sejarah mencatat bahwa banyak negara seperti unisoviet dan china yang juga berusaha menerapkan sosialisme berdasarkan mahzab Marxisme, sering kali berakhir dengan kegagalan dan penindasan. Dibawah kepemimpinan Stalin, Uni Soviet mengalami kebijakan represif yang menyebabkan sekitar 20 juta kematian yang termasuk akibat pembersihan poltik dan kelaparan akibat kolektivitas. Data dari Bank Dunia menunjukan bahwa rata-rata pertumbuhan ekonomi Uni Soviet sekitar 5% pertahun antara 1950 hingga 1980 itu jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara yang kapitalis seperti jepang mencapai pertumbuhan penduduk sekitar 10% dalam periode yang sama. Kegagalan ini juga menunjukan bahwa penerapan Marxisme di dalam praktik sering kali terjadi tidak menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera, tetapi malah justru menghasilkan yang bertentangan dengan aspirasi awalnya.
Marxisme sering juga dikritik karena tidak mampu menciptakan insentif yang mendorong produktivitas dan inovasi. Model sosialisme kepemilikan kolektif juga sering kali mengurangi semangat individu  untuk berinovasi dan bekerja keras. Studi oleh Mckinsey Global Institute menunjukan bahwa negara dengan sistem ekonomi pasar bebas seperti Jerman dan Swedia juga berhasil menggabungkan insentif ekonomi dengan kesejahteraan sosial yang akan berdampak positif pada tingkat inovasi. Laporan dari OECD ( Organization for Economic Cooperation and Development ) juga menunjukan bahwa produktivitas di negara sosialistik lebih rendah dibandingkan dengan negara kapotalis. Sistem kapitalis juga terdapat individu yang memiliki insentif yang kuat untuk berinovasi dan meningkatkan efesiensi, sedangkan dalam sosialisme terdapat kurangnya insentif yang dapat mengakibatkan perlambatan pertumbuhan ekonomi dan kurangnya kemajuan teknologi yang bermanfaat bagi masyarakat.
Asumsi tentang persatuan kelas pekerja dalam marxisme juga patut dipertanyakan. Marx berpendapat bahwa kelas pekerja akan bersatu di dalam perjuangan melawan kapitalis. Kenyataanya kelas pekerja sering terpecah oleh berbagai faktor sperti etnisitas dan pendidikan, yang mempengaruhi pandangan politik mereka lebih dari kelas sosial. Dukungan sering kali datang dari kelompok tertentu berdasarkan ras atau ideologi. Ini menunjukan bahwa solidaritas di antara kelas pekerja itu tidak selalu terwujud contoh dalam pemilihan umu di berbagai negara banyak juga individu yang memilih kandidat berdasarkan latar belakang yang sama dan bukan hanya berdasarkan kesamaan kelas mereka.
Marxisme juga kesulitan beradaptasi dengan  cepat nya perubahan kondisi ekonomi dan sosial. Perkembangan teknologi, globalisasi, dan perubahan cara produksi serta distribusi barang telah mengubah lanskap ekonomi secara drastis. Tetapi teori Marxisme ini tidak mampu merespons atau menjelaskan perubahan ini secara cepat dan efektif. Laporan dari International Monetary Fund (IMF) menunjukan bahwa negara yang menerapkan sistem ekonomi terbuka seperti Singapura dan Hongkong, mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik dibandingkan dengan negara yang menerapkan sistem ekonomi ekonomi tertutup. Selain itu juga World Economic Forum juga menunjukan bahwa negara kapitalis dengan pasar bebas dapat menghasilkan lebih banyak inovasi teknologi dibandingkan dengan negara sosialis. Di era digital ini kemajuan dari teknologi dan informasi berkembang pesat akan tetapi pendekatan Marxisme masih terlalu fokus pada produksi barang dan perjuangan kelas yang menjadi kurang relevan.
Meskipun Marxisme bertujuan untuk menciptakan keadilan sosial dan mengatasi ketidakadilan, penerapannya di dunia nyata sering kali jauh dari harapan, bahkan juga sering kali menciptakan ketidakadilan baru. Di dalam rezim sosialis pemerintah yang berkuasa sering menyalahgunakan kekuasannya untuk menekankan oposisi dan membungkam suara masyarakat. Di Venezula ada kebijakan sosialisme yang diterapkan dibawah pemerintahan Hugo Chavez yang menyebabkan krisis ekonomi parah dan mengakibatkan jutaan orang menderita akibat kekurangan obat-obatan. Sementara itu para pemimpin tetap hidup di dalam kemewahan. Data dari PBB menunjukan bahwa 90% populasi Venezula hidup di bawah garis kemiskinan, dengan tingkat inflasi yang tidak terkendali.
Secara kesluruhan kritik terhadap Marxisme menunjukan bahwa meskipun teori ini memberikan kontribusi penting dalam memahami ketidakadilan sosial, banyak asumsi dan prediksinya tidak terwujud di dalam praktik. Dari determinisme ekonomi yang terlalu menyederhanakan realitas, kegagalan implementasi sosialisme yang berujung pada tirani, hingga ketidakmampuan menciptakan insentif dan beradaptasi dengan perubahan, kritik ini juga mengungkapkan kelemahan mendasar dalam pendekatan Marxisme. Untuk mencapai keadilan sosial dan ekonomi yang lebih baik, masyarakat mungkin perlu mencari solusi yang lebih tepat, yang mempertimbangkan berbagai faktoryang memengaruhi kehidupan manusia bukan hanya fokus pada perjuangan kelas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H