PendahuluanÂ
Tidak dapat dipungkiri bahwa permainan sepak bola adalah olahraga terbesar di muka bumi. Sepak Bola menjadi satu-satunya permainan olahraga yang digemari secara mayoritas di setiap benua. Dikagumi dari setiap penjuru bumi, sepak bola menarik masyarakat seperti layaknya sebuah magnet. Pada platform sebesar sepak bola, politik secara pasti akan memasuki lapangan sepak bola. Politisasi sepak bola mengundang perihal demokrasi, baik diluar atau di dalam lapangan. Demokrasi itulah yang seringkali dijadikan topik untuk ekpresi politik dalam sepak bola.Â
Olahraga dan politik adalah suatu hal yang selalu berdampingan. Kekuatan olahraga terletak pada kegunaannya dalam dunia politik. Olahraga dapat mendukung pembangunan nasional dan membentuk identitas nasional di kancah internasional, dua hal yang merupakan sumber daya politik yang penting (Horne,1999). Dalam berbagai negara, olahraga tidak lagi dilihat sebagai sebuah permainan, melainkan sebuah hal yang merupakan desain dari sebuah ideologi (Riordan, 1993)
 Hubungan demokrasi dan sepak bola selalu bergantung pada konteks waktu dan tempat. Kondisi politik sebuah negara adalah suatu faktor besar dan latar belakang dari sebuah permainan sepak bola. Dalam sejarahnya, sepak bola sering terpapar segala bentuk rezim politik. Bentuk rezim yang paling dikenal dengan campur tangannya kepada sepak bola adalah rezim-rezim yang menentang demokrasi. Pemerintahan autokratik sering melakukan intervensi pada olahraga ini. Seperti halnya pada Piala Dunia 1978, dimana Argentina, sebagai tuan rumah, baru saja mengalami kudeta militer dari negara republiknya menjadi sebuah negara diktator. Permainan sepak bola yang dimainkan pada tahun itu terjadi dengan bayang-bayang nilai anti-demokrasi. Piala Dunia 1978 adalah suatu contoh dari sebuah pemerintah yang mencoba untuk membangun image dalam dunia internasional. Dibalik permainan indah yang ditunjukkan oleh sepak bola, pembantaian dan kamp konsentrasi tetap berjalan di Argentina, menjadikannya Piala Dunia terkotor dalam sejarah.Â
Sepak bola tidak hanya berfungsi sebagai alat bagi suatu pemerintahan. Sebagai permainan olahraga terpopuler, sepak bola memiliki 250 juta pemain dan 1.7 juta tim dari seluruh dunia (FIFA Big Count, 2006). Dengan platform terbesar di dunia, sepak bola mendukung terjadinya ekspresi politik. Alhasil, banyak kasus dalam sejarah sepak bola yang melibatkan pertentangan kepada sebuah rezim pemerintahan. Aksi-aksi seperti itu menunjukkan bahwa sepak bola adalah sebuah respon terhadap keadaan dunia.
Contoh kasus paling terkini adalah aksi tim nasional Iran pada Piala Dunia 2022 di Qatar yang menentang rezim islam represif yang telah memimpin selama 44 tahun. Para pemain Iran menolak untuk menyanyikan lagu nasionalnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa sepak bola adalah sebuah platform untuk unjuk rasa, atau lebih jauhnya lagi, platform untuk perubahan. Dalam kasus ini terlihat bahwa para pemain bergerak untuk mendukung adanya demokrasi.
Pembahasan
Bahasan tentang politik dan sepak bola telah menjadi suatu perdebatan bagi publik sejak lama. Politik dalam sepak bola dapat terlihat kontroversial atau tidak perlu. Orang menolak untuk mencampur sesuatu yang seringan permainan sepak bola dan mencampurnya dengan politik, suatu hal yang sangat berat. Lantas, apakah ekspresi politik dalam sepak bola harus ada? Jika terlihat dari dunia sekarang, hal itu telah menjadi sesuatu yang perlu dilakukan, ditambah lagi dalam konteks untuk membela demokrasi. Kebebasan berekspresi tersebut juga merupakan bentuk dari demokrasi yang ada di dunia sepak bola. Haynes (2001) menyatakan bahwa batasan antara permainan olahraga dan politik secara bertahap semakin kabur karena tren untuk menjadi lebih vokal terhadap masalah di dunia.
Para pemain sepak bola juga dapat menjadi perintis dan pendukung demokrasi, tidak hanya menjadi seorang atlet. Socrates, pemain bola tahun 1970 an dari Brazil, adalah seorang pemain yang mendedikasikan karirnya untuk menjunjung demokrasi. Sebagai tanggapan terhadap cara pengelolaan klub yang otoriter, Socrates membuat gerakan 'Corinthians Democracy Movement" yang menerapkan demokrasi dalam segala aspek dari permainan sepak bola dalam klub. Ini adalah contoh bagaimana seorang atlet menggunakan posisinya untuk menciptakan sesuatu yang berdampak. Sepak bola seharusnya tidak hanya untuk mencari kemenangan, namun juga dapat bertujuan untuk meraih sesuatu yang lebih mulia yang seperti dalam kasus ini merupakan demokrasi.Â
Negara dapat menunjukkan cerminan demokrasinya melalui sepak bola. Khususnya dalam pertandingan internasional, tim nasional secara tidak langsung membawa ideologinya ke dalam lapangan. Identitas nasional dan nasionalisme terikat secara erat terhadap tim nasional. Dengan cara itu, tim nasional mencerminkan ideologi yang dipegang oleh negaranya. Piala Dunia 1978 adalah sebuah contoh dari hal tersebut. Amerika dan kawanannya mengancam untuk memboikot karena tipe pemerintahan kediktatoran kejam yang diterapkan Argentina. Dari hal tersebut, terlihat ideologi dan demokrasi yang dipegang oleh Amerika.