Mohon tunggu...
Rifqi Qowiyul Iman
Rifqi Qowiyul Iman Mohon Tunggu... -

Bila kau bukan anak raja, bukan juga anak ulama besar, maka menulislah." [Imam Al Ghazali]

Selanjutnya

Tutup

Politik

Islam dan Sebuah Negara Kesatuan

31 Maret 2017   15:30 Diperbarui: 1 April 2017   06:34 826
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: imahkudesain.blogspot.com

Pernyataan Presiden Joko Widodo tentang pemisahan politik dan agama yang dilanjutkan dengan peresmian Tugu 0 KM Perdaban Islam Nusantara telah menimbulkan kegaduhan di media sosial. Salah seorang kawan berseloroh tentang konsep negara dan agama yang kemudian menyinggung konsep "darussalam" yang dipopulerkan oleh NU. Ia menyatakan bagaimana terbentuk darussalam (negara damai) jika tidak melalui berdirinya darul Islam (Negara Islam). Dalam salah satu komentar, penulis mencoba menjelaskan tentang konsep ketatanegaraan tersebut. Berikut catatan yang penulis berikan:

"Terminologi darul islam dalam hal ini harus dipahami dalam konteks diskursus "darul islam, darul harbi dan darul 'ahdi/ darusshulhi/ darussalam. Muktamar NU 1936 pernah memutuskan bahwa Indonesia adalah darul islam (bukan diartikan sebagai sebuah sistem tata negara, tapi bahwa dominan penduduknya adalah muslim). Konsekuensinya waktu itu, setiap pejuang kemerdekaan yang terbunuh akan diperlakukan sebagaimana kaum muslimin (walau bisa jadi dia non muslim) itu yg dimksud darul islam. Sedangkan darussalam disini sebenarnya berarti darusshulhi, atau darul 'ahdi yang didefinisikan sebagai daerah yang netral (bukan darul islam dan darul harbi) namun hak-hak dan kebebasan beragama dijaga serta dilindungi.

Kenapa Indonesia bukan darul islam (secara sistem) tapi darusslam / darul 'ahdi karena mengikuti pendapat yang mengatakan bahwa keadaan fawdha (tdak ada pemimpin / tidak ada negara) lebih berbahaya (dharar) dibandingkan dengan ada negara meski bukan darul Islam (peristiwa BPUPKI), ini hasil ijtihadnya KH A Wahid Hasyim dan perwakilan kaum muslimin wktu itu. Meski pada awalnya beliau yang menggagas tujuh kata pada piagam Jakarta dan menggagas agar sistem kenegaraan kita Islam, namun sulit direalisasikan karena keadaan indonesia yang terlalu majemuk (bhineka) dan konsep menghindari adanya faudha inilah yang melahirkan konsep NKRI harga mati.

Terkait terminologi negara dan agama perlu digunakan istilah "tamyiz (pemilahan)" bukan "tafriq (pembedaan)" seperti yang dinyatakan baru-baru ini. Karena jika agama disatukan dengan negara (sistem teokrasi) yang berpotensi muncul adalah tirani (munculnya ISIS, HTI dll), sedangkan jika dipisah, yang ada adalah sekulerisasi. Dua-duanya jelas bukan sebuah konsep yang ideal untuk sebuah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berasaskan Pancasila."

Kemudian sebagai tambahan, penulis memberikan: 

"Kaum ahlussunnah yakin bahwa khilafah akan ada nantinya dengan kriteria imamah sesuai dengan yang diriwayatkan (seperti dari bani quraisy, ahli ijtihad dll) dan bukan seperti konsep yang disusun HTI baru-baru ini, atau seperti yang dibuat ISIS.

Intinya, sistem negara Islam itu niscaya adanya, tapi perlu proses yang panjang, dan dibutuhkan kualitas pengetahuan yang tinggi untuk faham apa dan bagaimana negara Islam (khalifah) yang dimaksud dengan tujuan syara' .. Wallahu a'lam"

Pandangan ideal tentang kedudukan agama dan negara ini yang penulis kemukakan semata-mata adaah hasil intisari penulis terhadap sinkronisasi paham ahlussunah wal jama'ah dan konsep bernegara di Republik ini. Dengan harapan, jargon "NKRI harga mati" bukan sekedar nasionalisme kering, namun ia adalah sebuh produk berpikir yuridis agamis. Lalu, masihkah kita mencari dalil untuk membela tanah air? 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun