Mohon tunggu...
Rifqi Muhammad
Rifqi Muhammad Mohon Tunggu... Penjahit - Seorang penjahit

Asal pantura, kini di Yogyakarta. Sata beralamat di rifqi.web.id dan berinteraksi di @rifqidab

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Bahasa, Makna, dan Letak Catatan Harian

9 April 2010   02:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:54 580
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Konon, tulisan diamini sebagai batas zaman, sebuah penanda di mana zaman pra-sejarah dipungkasi dan zaman-sejarah dimulai. Jika demikian, ini berarti, kelihaian merangkai tulisan, ialah kelihaian merawat zaman, menghidupi zaman.

Tulisan, sebagaimana yang kita kenal hingga sekarang, terlahir sebagai hasil dari pelbagai olah kreasi oleh orang-orang yang hidup ribuan tahun sebelum kita. Apa gerangan yang membuat tulisan demikian istimewa, hingga didapu sebagai titik tolok yang menandai pergantian zaman.

***

Seiring dengan adanya hasrat dan dorongan untuk memahami dunia, orang dahulu memproduksi makna-makna sebagai pengetahuan bersama. Makna inilah yang menjadi landasan relasi antar orang per orang. Hal lain yang terkait dangan makna ialah bahasa. Keduanya saling mempengaruhi satu sama lain. Pada satu sisi, melalui bahasa lah makna-makna bisa tersampaikan antar subyek. Dalam konteks ini, makna lah yang menjadi pusat, sedang bahasa hanya sebagai medium. Sebaliknya, pada sisi lain, makna itu juga muncul lantaran karena adanya bahasa. Artinya, bahasa di sini didudukan pada posisi yang sentral, yakni sebagai pra kondisi lahirnya makna.

Sebagai contoh dari kelindan di atas ialah ketika orang mengenal ‘sore’, misalnya. Konsep ‘Sore’ tersebut ada, tak lain karena adanya konsep tentang rangkaian siklus hari, dan juga karena ada bahasa. Sebelumnya, orang hanya melihat lembayung senja, matahari yang tenggelam di batas cakrawala, dan bulan yang mulai menampakkan cahayanya. Dengan adanya bahasa dan makna, semua kondisi itu dirangkum dalam sebuah kata—yang mengandung makna, yakni ‘sore’.

Masa ketika manusia belum mengenal tulisan, lalulintas makna-makna—sebagai nilai besama—itu hanya melalui bahasa lisan. Inilah generasi awal zaman manusia, sebuah zaman yang dinamai sebagai zaman pra sejarah.

Hingga pada perkembangannya, manusia menempati skala yang meluas, baik dalam konteks waktu maupun ruang. Keluasan dalam skala waktu itu misalnya, orang lalu tidak hanya ingin menyampaikan makna pada generasinya saja, melainkan juga generasi sesudahnya. Ini bisa kita pahami dalam konteks berkembangnya norma, ajaran atau ritus tertentu, misalnya mantra. Bahwa norma, ajaran, dan ritus tersebut, tidak hanya diberlakukan pada satu gererasi saja melainkan antar generasi. Inilah titik mula kesadaran menyejarah.

Lalu bagaimana yang dimaksud dengan meluas dalam skala ruang. Sejalan dengan keinginan untuk menyejarah, manusia lalu tidak hanya berhasrat untuk mengatasi generasi sesudahnya, melainkan juga mengatasi subyek-manusia lain dalam ruang-daerah lain yang hidup sezaman. Sehingga tidak heran apabila norma atau ritus tertentu, bisa berlaku di banyak daerah, baik yang secara lokasi berdekatan atau berjauhan.

Atas adanya hasrat-hasrat dalam dua dimensi tersebut, konsekuensinya, menusia membutuhkan medium tertentu yang bisa mengatasi kedua-duanya. Alhasil, mereka memodifikasi simbol-simbol tertentu, yang kemudian disepakati sebagai media yang menyimpan makna, yang bisa dipahami secara bersama. Ialah tulisan. Sekalipun fungsinya sama, mengawetkan makna, tulisan ini tidak bisa dibayangkan sebagaimana tulisan yang kita kenal sekarang.

Mulanya, orang mengawetkan makna melalui simbol yang menyerupai gambar unsur-unsur alamiah, seperti pepohonan, tetumbuhan, hewan, atau elemen alam lainnya. Penciptaan simbol tulisan, tentu saja sejalan dengan pengalamannya dalam keseharian, baik pengalaman bentuk maupun media. Tulisan model ini bisa kita lihat dalam aksara Hieroglyph yang berasal dari peradaban mesir kuno. Contoh lain lagi, ialah Quipu, yang merupakan alat komunikasi tertulis bangsa Peru tua, sebuah peradaban tertua di Amerika.

Sayangnya, tulisan-tulisan kuno hanya ditemukan didaerah-daerah tertentu yang telah memiliki peradaban pengetahuan dan teknologi yang maju. Karena dengan teknologi itulah mereka bisa mengawetkan pengetahuannya melalui tulisan yang bisa terlacak utuh hingga pada tahun-tahun belakangan. Tidak heran apabila tulisan kuno, seringkali terungkap seiring ditemukannya peradaban-peradaban besar di dunia. Lalu mana saja yang selama ini diduga sebagai peradaban kuno yang menghasilkan tulisan? Ruth Shady, seorang Arkeolog asal Peru mengatakan, “Manusia yang memulai peradaban 5.000 tahun yang lalu hanya di lima tempat di dunia – Mesopotamia (kira-kira Irak sekarang dan sebagian dari Syria), Mesir, India, China, dan Peru.”

***

Melihat bahwa kedudukan tulisan sangatlah prestige dalam sejarah umat manusia, lalu bagaimana mestinya kita memposisikan tulisan. Apakah dengan turut menghidupi tradisi tulis? Saya kira jawabnya adalah “Iya”. Harus diakui, meskipun telah lama mengenal tulisan, hingga kini kita belum begitu akrab dengan tradisi ini. Menulis masih menjadi aktifitas yang jauh berjarak. Tersebarnya pelbagai buku tantang pengalaman menulis dan teori-teori menulis, menjadi bukti kuat akan kegagapan kita dalam menghidupi tradisi ini.

Sekalipun ditujukan untuk membantu, tidak jarang buku-buku tersebut malah memperkokoh gagap tulis kita. Bagaimana tidak, buku-buku itu malah menampilkan serangkaian teori-teori menulis, yang lengkap dengan syarat-syarat berat. Akibatnya, seringkali kita hanya berniat menulis kalau disuruh, atau tengah menanggung  tanggungjawab itu. Keterpaksaan ini juga berdampak terhadap kondisi psikologis ketika menulis. Tidak heran apabila menulis selalu dianggap sebagai suatu momok yang berat. Dalam konteks ini, berjaraknya tradisi tulis dari aktifitas keseharian kita, tentu saja juga ditunjang oleh banyak faktor yang lain.

Pada dasarnya, menulis ialah mengungkapkan. Perbedaannya dengan bahasa lisan, kalau menulis, kita mengungkapkan gagasan dengan menggunakan medium aksara. Dengan demikian, apa yang bisa kita bicarakan secara lisan, bisa pula kita tuliskan. Sekalipun memang, menulis gagasan terkesan lebih lambat ketimbang mengungkapkan gagasan secara lisan. Hal ini dikarenakan, dalam menulis ada proses pengendapan di satu sisi, ada proses mencurahkan pada sisi lain. Keduanya berjalan bersamaan. Sehingga secara isi, seringkali gagasan dalam tulisan tampak lebih kuat ketimbang melalui lesan.

Masa pengendapan itu terjadi ketika kita berfikir keras, bagaimana mensistematisasi ide, selama menumpahkan gagasan melalui tulisan. Dalam konteks ini, ada upaya merekam, dalam tulisan. Sekalipun demikian, menulis bukanlah hal sulit untuk dilakukan. Ia hanyalah soal pembiasaan mengungkapkan gagasan, sebuah aktifitas yang bisa kita latih dengan membiasakannya. Karenanya, belajar menulis tak bisa ditekankan pada pengetahuan kita atas teori-teori menulis, melainkan dengan pembiasaan menulis.

Buku catatan harian bisa menjadi cara yang efektif untuk memperkuat sensitifitas dan gairah menulis. Sekalipun bahan gagasannya berupa pengalaman harian yang remeh temeh, catatan harian bisa meningkatkan daya reflektif kita. Selain itu, menulis catatan harian juga bisa melatih kita dalam mensistematisasi cerapan atas peristiwa. Di sana kita bisa menempelkan rasa dan nada untuk tiap tulisan.

Catatan harian sifatnya terjaga dari jamahan orang lain. Ia menjadi ruang dimana kita bisa menelurkan tulisan secara intim. Itulah kenapa seseorang bisa menuliskan nya secara sangat emosional, juga detail. Proses ini akan melatih kita dalam memperkuat kualitas tulisan. Karena tulisan yang berkualitas bukanlah kodifikasi catatan kaki atau yang penuh teori, namun kuat dalam wilayah refleksi. Tak heran bila ada beberapa buku catatan harian yang turut mewarnai daftar buku-buku berpengaruh.

Dalam skala internasional, kita mengenal Diary of a Young Girl karya Anne Frank. Sebuah buku yang mengungkap pengalaman batin seorang gadis remaja, yang tumbuh dibawah teror holocaust. Di masa kini, bahkan Diary ini menjadi salah satu dokuman paling abadi di abad duapuluh. Contoh lain, di Indonesia misalnya, setidaknya ada dua buku; Catatan Seorang Demonstran dan Catatan Harian Ahmad Wahib. Bila yang pertama adalah buku oleh Soe Hok Gie, serang aktivis pergerakan politik. Buku kedua ditulis oleh Ahmad Wahib, seorang pemikir muda islam Indonesia.

***

Keduanya menjadi bukti di mana catatan harian—sebagai tulisan—bisa mengukuhkan gagasan mereka sepanjang sejarah. Scripta manent verba Volant.[RIFQI MUHAMMAD]

Tulisan ini diposting juga di sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun