Pada mulanya diniati sebagai upaya perjuangan. Itulah alasan keberadaan (raison d’etre) Pers Mahasiswa di Indonesia. Maka di awal kemunculaya, pers mahasiswa kental dengan gerakan kemahasiswaan dan gerakan perjuangan kemerdekaan. Ia adalah upaya penyebarkan ide-ide pembaharuan, nasionalisme dan perjuangan Bangsa Indonesia dalam meraih kemerdekaan.
Dalam literature sejarah, tercatat beberapa terbitan yang menjadi tonggak perjalanan pers mahasiswa, diantaranya, Jong java, Indonesia Merdeka, Oesaha Pemuda, atau Jaar Boek (Amir E. Siregar; 1983). Pada masa selajutya, ketika Demokrasi Liberal diterapkan, pers mahasiswa kian menjamur, di Jakarta misalnya, terbit Academia, Mahasiswa, Forum; di Bandung, Bumi Siliwangi (IKIP), Intelegensia (ITB); di Yogyakarta, Criterium (IAIN), GAMA (UGM); di Surabaya, Ut Omnes Umum Sint (GMKI); di Makasar Duta Mahasiswa (DEMA Hasanuddin); di Medan, Gema Universiter; dan di Padang, terbit Tifa Mahasiswa.
Semakin meluasnya pers mahasiswa, muncul keinginan untuk meyatukan gerakan pers mahasiswa dalam kacah nasional. Maka dibetuklah Ikatan Wartawan Mahasiswa Indonesia (IWMI) dan Serikat Pers mahasiswa Indonesia (SPMI). Di kala pers mahasiswa tengah merangkak naik, sistem politik berubah menjadi Demokrasi Terpimpin, kontan, keterbukaan pers mahasiswa akhirya terpangkas. Kosekuesiya, hanya tinggal beberapa yang bertahan; Gelora Mahasiswa (UGM), Salemba (UI), Harian KAMI (KAMI Jakarta), dan (Mahasiswa) Bandung.
Cerita hidup dan mati atau timbul dan tenggalam selalu muncul berulang. Seusai masa ’65, Orde Baru (Orba) bagkit degan janji perubahan. Tak pelak, pada periode awal Orba, pers mahasiswa kembali menggeliat. Hingga kemudian, karena semakin dibanjiri kritik, pemerintah menerapkan status NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan) yang bertujuan untuk menggiring aktifitas mahasiswa hingga hanya berkutat pada level kampus, mengecilkan geraknya, dan membunuhnya. Pada masa ini pembredelan pers mahasiswa terjadi di mana-mana; kebebasan itu terberagus kembali.
Pada akhir periode 1990-an, kejumudan terhadap kekangan tidak bisa diredam. Kebagkitan pers mahasiswa lamat-lamat meggeliat. Di beberapa perguruan-perguruan tinggi, terbitan-terbitan mahasiwa kian meyebar di tiap sudut kampus. Terlebih pada masa ini rezim Orba didera derita; di luar istana massa bergelora, di dalam, penguasa bergetar dalam kekhawatiran.
Pada momen ini, Pers mahasiswa adalah pasir dalam gerakan mahasiswa; ia ada di tembok gerakan, di genteng yang memayungi sprit gerakan, dan di lantai fodasi gerakan. Pers mahasiwa melekat dalam bangunan gerakan mahasiswa; ia tidak tampak dalam wujud yang lumrahya kentara, tapi ia mengiringi, teramu, dan mempertautkan lekatan gerakan mahasiswa. Maka tak heran bila dalam edisi 30 maret 1998, majalah TIME menyebut pers mahasiswa sebagai Behind The Scene.
Sejak reformasi 1998, era keterbukaan digelar. Dalam upaya produksi kritik, rentang antara media massa umum dan media mahasiswa sudah tidak lebar. Media massa yang sebelunya tampak “malu-malu”, kini bebas menyuarakan apa yang ada. Sebaliknya, pers mahasiswa malah tersudut dalam kandangnya sambil meyelami mitos-mitos romatismenya. Kritik, analisis, dan keberanian yang menjadi bagian dari identitas pers mahasiswa, lamat-lamat lutur. Kini media massa nasional jauh memiliki “modal” ketimbang pers mahasiswa, baik segi oplah, dana, profesioalisme, maupun daya jangkau. Bila dulu medapat predikat “Pers Alteratif”, kini Pers mahasiswa menemukan kenyataan yang berbeda; ia tidak lagi istimewa.
Menghadapi problem ini, pada 2 November 1998, dalam sarasehan Persma di Yogyakarta yang bertajuk “Reorientasi Pers Mahasiswa, Mencari Ruang Baru dalam Era Keterbukaan”, diketengahkan dua solusi reorientasi bagi pers mahasiswa (Didik Supriyanto; 1998); (1) Community Press, yakni pers mahasiswa harus kembali ke komunitasnya, kampus, atau (2) mempertegas predikat mahasiswanya dengan menjadi Press of Discourse.
Kini, ditengah disorientasi berkelajutan yang tak kujung sirna, tak ada salahnya bila pers mahasiswa kembali mengetengahkan dua pilihan yang telah dibicangkan sepuluh tahun lampau itu. Melalui misi Community Press, pers mahasiswa bisa mejadi ruang publik (Public Sphere) yang memperkuat nilai-nilai demokrasi disetiap kampus. Atau, pilihan kedua, menjadi press of discourse, pers mahasiswa digarap sebagai ruang produksi wacana (Discourse). Keduanya membawa kosekuensi berbeda, baik dalam pola kajian, bentuk produk, dan tema yang diangkat.
Tanggal 9 februari lalu usai digelar hajatan besar pers nasioal, meski andil pers mahasiswa dalam perjuagan keterbukaan informasi tak bisa dipandang sebelah mata, pers mahasiswa seakan tidak mendapat tempat disana. Dengan membaca ulang dan melakukan refleksi terhadap sejarah, kita akan lebih meyadari integralitas perjuangan pers di indonesia. Dilain sisi, di era keterbukaan dan kebebasan informasi, hedaknya pers mahasiswa pun mulai harus semakin memantapkan perannya. [RIFQI MUHAMMAD]
Tulisan ini juga di tampilkan di sini