Kehidupan selalu melibatkan hubungan sosial antar individu dan masyarakat. Masyarakat umumnya mendambakan kedamaian, meski konflik tidak bisa dihindari. Hidup berdampingan secara rukun adalah harapan bersama, karena tempat tinggal adalah tempat pulang. Ibu Kota Nusantara, sebagai harapan baru bagi masyarakat Indonesia, tentu tidak akan sempurna. Dalam proses pembangunan, pasti ada pihak yang pro dan kontra. Untuk mengantisipasi konflik, perancang kota telah menerapkan metode untuk meminimalisir ketegangan.
Desa Bukit Raya, yang terletak di Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Provinsi Kalimantan Timur, termasuk dalam Ring 1 Ibu Kota Nusantara. Desa ini mayoritas dihuni oleh transmigran dari program pemerintah tahun 1954. Di desa ini juga terdapat Suku Asli Paser. Namun, karena banyaknya pernikahan silang, masyarakat Desa Bukit Raya mengatakan bahwa sulit menemukan keturunan murni Suku Paser atau suku asli daerahnya.
Pembangunan Ibu Kota Nusantara menjadi tantangan besar seperti tembok atau tangga yang tinggi bagi desa, baik dari segi ekonomi, sosial, lingkungan, dan lainnya. Desa Bukit Raya yang saat ini menjadi lintas utama menuju daerah pembangunan, mobil dinas dan truk muatan besar yang tidak berhenti-henti melewat dari pagi ke pagi setiap harinya kecuali pada hari raya. Selain kendaraan yang menyebabkan debu, adapun banyaknya pekerja yang berdatangan dari berbagai macam suku dan budaya.
Membahas dari hal terkecil, masyarakat luar daerah Ibu Kota Nusantara mungkin sedikitnya penasaran bagaimana reaksi masyarakat dengan banyaknya pendatang yang berkerja di Ibu Kota Nusantara.Â
Di Desa Bukit Raya, hubungan antara penduduk asli dan pekerja konstruksi menunjukkan dinamika sosial yang beragam. Meski ada ketidaksesuaian, pengalaman sebulan hidup berdampingan dalam program P2MB dari Universitas Pendidikan Indonesia menunjukkan bahwa penduduk Desa Bukit Raya menerima pendatang terutama yang membawa perubahan positif. Â
Perspektif masyarakat terhadap maupun pendatang tentunya memiliki pro dan kontra. Dari segi positifnya pendatang membawa perubahan, baik dari segi perekonomian dalam artian membuka ide peluang bisnis, mengenal kultur budaya luar pulau, dan memberikan kesan penduduk asli kepada kampung halaman. Namun dapat disayangkan juga bahwa terdapat beberapa dari segi negatif, tidak jarang terdapatnya penyimpangan nilai dan norma budaya desa oleh pendatang yang berlanjut kepada dampak besar kepada masyarakat.
Secara umum masyarakat asli sangat menerima adanya pendatang, akan tetapi memang sikap masyarakat sedikit berbeda seperti acuh kepada oknum-oknum masyarakat yang tidak mengikuti nilai dan norma di masyarakat.Â
Seperti contohnya terdapatnya pendatang yang menetap sementara untuk berkerja tidak melapor kepada pihak ketua RT, kondisi tersebut membuat pendataan daerah semakin rumit. Dari segi budaya pemerintah daerah maupun sekolah tetap mengadakan pembelajaran terkait budaya-budaya suku asli Kalimatan, walaupun memang banyak siswa-siswi memiliki latar belakang keturunan bukan asli Kalimantan.
Pembangunan Ibu Kota Nusantara membawa tantangan besar bagi Desa Bukit Raya, terutama dengan arus kendaraan berat dan kedatangan pendatang dari berbagai suku untuk mengadu nasib. Meski ada gesekan sosial, banyak penduduk Desa Bukit Raya menerima pendatang yang membawa perubahan positif. Kehidupan di desa ini mencerminkan pro dan kontra: pendatang membuka peluang ekonomi dan memperkenalkan budaya baru, namun juga terkadang melanggar norma setempat.Â
Pemerintah desa dan sekolah berupaya menjaga warisan budaya asli Kalimantan di tengah keragaman yang semakin meningkat. Tantangan ini menguji kemampuan Desa Bukit Raya untuk beradaptasi dan tetap harmonis di tengah perubahan besar.