Sebuah cerita tentang pemilik lahan yang mempunyai tanah yang sangat luas pada kondisi geografis yang berbeda-beda. Luasnya tanah tersebut berada pada lokasi yang datar di puncak kota, ada di bawah lembah, ada di dekat sungai, di dekat pantai, ataupun dikelilingi hutan belantara. Pemilik tanah tersebut memperkerjakan seorang pengawas untuk menjaga tanah garapan tersebut. Pemilik tanah memberi target kepada pengawas untuk menanam apel dan menghasilkan sesuai perjanjian. Semakin banyak hasil yang dapat dicapai pastinya pemilik lahan akan senang.
Pemilik tanah tidak hanya memperkerjakan satu orang pengawas, namun beberapa pengawas masing-masing mengelola kebun dengan bentuk, lokasi, jenis tanah, habitat sekitar maupun iklim yang berbeda bersama para tukangnya. Sebagian besar pengawas dan tukang kebun tinggal di puncak kota, sehingga banyak yang harus bekerja jauh menuju ke lokasi kebun-kebun untuk dikelola. Namun berbeda bagi pekerja di kebun yang berada di puncak kota, mereka tidak perlu berpindah tempat.
Karena pemilik lahan tinggal di puncak kota maka hubungan dengan pekerja di kebun puncak kota sangatlah dekat. Jumlah pekerja pun lebih banyak untuk mengurus perkebunan apel tersebut. Kondisi tanah di puncak kota pun sebenarnya juga lebih subur sehingga dengan adanya pupuk yang sesuai, hasil kebunnya bisa lebih banyak. Bahkan kebun di puncak kota ditanami bunga-bunga sebagai penghias, karena dengan adanya bunga, banyak pujian yang diterimanya, walaupun tidak dapat ditukar dengan makanan pokok lainnya. Pemilik lahan memperkerjakan tukang khusus di puncak kota untuk merawat bunga-bunga, dan meminta tukang tersebut menjadi pengawas bagi tukang lain di kebun apel lainnya untuk merawat bunga.
Mengenai hasil kebun, apel-apel tersebut dikumpulkan di puncak kota dan dihitung oleh pemilik lahan untuk ditukar dengan hasil bangunan atau makanan pokok dari pedagang lain. Apalagi pemilik lahan sedang membangun rumah yang lebih bagus serta memperbaiki bangunan yang dia miliki yang sempat hancur karena badai. Selain itu karena pemilik lahan juga harus membuat cadangan harta untuk menghadapi sekiranya ada gagal panen yang melanda.
Pekerja kebun lain dengan jumlah yang tidak mencukupi, harus mampu mengelola tanah untuk ditanami apel. Para pekerja pun diharuskan menggunakan pupuk yang diberikan serentak oleh pekerja di puncak kota untuk digunakan agar mempercepat buah apel masak di masing-masing kebun. Perbedaan cuaca dan kandungan tanah, membuat para pekerja di kebun lain bekerja ekstra dan mau tak mau harus pintar memformulasikan pupuk yang diberi dengan metode lain agar apel mau bertumbuh.
Bayangkan jika kebun di wilayah hutan belantara, dengan kondisi keterbatasan pekerja harus berupaya menumbuhkan apel pada wilayah sangat luas serta harus mampu menumbuhkan bunga-bunga pula. Upayanya yang keras pun terkadang tidak membuahkan hasil, padahal harus menjaga kebun apel itu pula dari hama-hama liar atau bahkan tidur di pekarangan demi menjaga kebun apel itu dapat tumbuh subur.
Pupuk yang diberikan oleh kebun di puncak kota pun bagus, namun perlu penyesuaian bagi kebun-kebun lain. Sekali lagi perbedaan kondisi tanah maupun cuaca sangat mempengaruhi. Terkadang pula cara penggunaan pupuk tersebut tidak sesuai semestinya, karena tingkat pendidikan pekerja yang tidak merata. Pekerja lokal kurang dapat memahami fungsi dan cara melakukan perawatan menggunakan pupuk tersebut, sehingga pekerja kota yang ditugaskan di kebun tersebut harus berupaya sangat keras mengerjakannya.
Lamanya bekerja di kebun jauh dari puncak kota, membuat para pekerja tersebut ingin bekerja pula di kebun di lokasi menyenangkan dan dekat dengan asal mereka tinggal. Namun, para pekerja di puncak kota lebih mampu bersaing dan mempunyai kedekatan dengan pemilik lahan, mereka pun bisa memilih siapapun yang berpindah. Dapat dibandingkan jika bunga di puncak kota lebih dihargai daripada bunga di kebun lain karena adanya tukang khusus dan fasilitas perawatan lainnya.
Berbeda dengan lainnya yang harus dua kali bekerja untuk dapat menumbuhkan apel dan juga bunga. Itulah yang terkadang membuat pekerja di kebun lain merasa kurang bergairah bekerja, atau bahkan tidak semangat. Bagaimana rasanya menjaga kebun, sambil terjaga dari hewan buas di hutan maupun curamnya lereng tempat kebun itu digarap, sambil menyembunyikan kerinduan dengan keluarga mereka.
Analogi di atas sedikit banyak menceritakan naik turunnya semangat pastinya dirasakan manusia seperti roller coaster. Adanya hambatan dan tantangan pastinya membawa diri ke posisi emosional di puncak namun juga terkadang harus menurun di titik terendah. Kecepatannya pun juga berubah-ubah, terkadang cepat atau lambat tergantung hasil yang ingin didapat. Jika saja........."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H