Pangan merupakan suatu kebutuhan dasar utama bagi manusia untuk dapat mempertahankan hidup. Oleh karena itu, kecukupan pangan bagi setiap orang pada setiap waktu merupakan hak asasi yang harus dipenuhi (Ismet, 2007, Suryana, 2008). Ketersediaan pangan yang lebih kecil dibandingkan dengan kebutuhannya dapat menciptakan ketidakstabilan ekonomi suatu negara. Berbagai gejolak sosial dan politik dapat terjadi jika ketahanan pangan terganggu, yang pada akhirnya dapat membahayakan stabilitas nasional.
Laju pertumbuhan penduduk menjadi tantangan karena produksi pangan stagnan, bahkan cenderung turun. Pada tingkat global dan nasional, produksi pangan dihadapkan pada berbagai persoalan besar. Di antaranya semakin terbatasnya lahan dan air untuk pertanian erosi dan intrusi air laut, serta perubahan iklim yang memicu ledakan hama dan mengacaukan budidaya.
Food and Agriculture Organization (FAO) mengiyakan bahwa produksi pangan dunia harus meningkat 60 persen pada tahun 2050. Saat itu, jumlah penduduk diperkirakan 9.3 miliar orang dibandingkan saat ini 7,7 miliar (FAO, 2015).
Komoditas Pangan Indonesia
Tahun 2050 penduduk Indonesia diperkirakan 366 juta jiwa, bandingkan dengan populasi pada tahun 2019 sebesar 267 juta jiwa. Jumlah penduduk kelompok 15-64 tahun (usia produktif) mencapai 183,36 juta jiwa atau sebesar 68,7 % dari total populasi (katadata, 2019).
Sebuah lonjakan yang cukup besar atas jumlah kepadatan penduduk di Indonesia yang menegaskan diperlukannya strategi-strategi pangan yang responsif. Kebijakan-kebijakan pemerintah diharapkan pula proaktif mendukung produktivitas komoditas pangan yang dikembangkan di seluruh wilayah Indonesia.
Namun, sebuah fakta miris terangkat ketika ada upaya dari pemerintah untuk melakukan keseragaman pangan. Sebuah resiko yang dapat mengakibatkan bencana jika hal ini dilakukan, mengingat bahwa budaya-budaya Indonesialah yang menciptakan bervariasinya jenis pangan. Hanya 30 jenis tanaman pangan yang dibudidayakan untuk memenuhi 95 % kebutuhan pangan global. Empat di antaranya beras, gandum, jagung, dan kentang.
Contohnya jenis pangan yang terlihat tidak populer seperti sagu? Di manakah posisi sagu yang menjadi sumber makanan pokok terutama di wilayah timur Indonesia? Keberadaan sagu khususnya di Papua pun memerlukan perhatian yang serius. Sebagian besar tanaman sagu di Papua, siap panen namun dibiarkan di alam sehingga terancam mati sia-sia. Ironisnya sebagian besar sagu berada di kabupaten Asmat yang rentan terkena bencana kesehatan dan gizi buruk.
Sebagai salah satu sumber pangan potensial, sagu harus dipertahankan di masyarakat yang masih mengkonsumsinya. Keunggulan sagu sebagai sumber pangan masa depan yang dirangkum dalam buku Sago Palm : Multiple Contributions to Food Security and Sustainanble Livelihood (Springer, 2018).
Sagu mampu tumbuh di rawa-rawa dan lahan gambut. Ketika tanaman lain tidak bisa tumbuh. Sagu juga memiliki produktivitas sangat tinggi, 150-300 kg tepung sagu per tanaman. Sebagai perbandingan, untuk menghasilkan 30 juta ton padi, dibutuhkan 1 juta hejktar lahan sagu. Sagu juga bisa diolah menjadi gula cair.
Tantangan Ketahanan Pangan