Stasiun kereta Palmerah. Pukul 19:15. Jam pulang kantor.
Seusai membeli tiket, saya melihat tiga orang pemuda dengan penampilan cukup menyolok. Wajah mereka bertiga kumal, istilah Sundanya kuleuheu, kontras dengan sekelilingnya yang kebanyakan orang kantoran atau mahasiswa yang meskipun jam pulang kerja, masih terlihat rapinya. Usia mereka ditaksir masih muda, mungkin seusia 23an. Jari tangannya merapat dan dengan ahlinya memegang rokok. Mulutnya menari meniupkan asap rokok tebal dan menebarkan bau rokok yang pekat. Bibirnya legam tidak menyisakan warna bibir asli. Meskipun perawakannya sedang, namun dengan tangan bertato di mana-mana, berwarna hitam dan hijau, sudah cukuplah membuat orang yang melihatnya ketar ketir.
Entah kompak atau berjiwa pasukan atau geng, rambut mereka bertiga pun memiliki potongan dan jenis rambut yang sama: sama-sama gimbal. Bahkan yang satu orang memiliki rambut gimbal yang sangat panjang, sampai menyentuh pantat. Untuk menunjukkan kesan keren atau cool atau jantan, dua orang dari mereka memakai bando, satu berwarna merah dan satu lagi berwarna biru. Dengan jaket jeans belel, tas ransel dan celana jeans sobek sana sobek sini, cukuplah sekali lagi kita menempelkan stigma negatif kepada mereka: berandal, preman.
Pada saat yang sama kulihat seorang perempuan sama kumalnya. Bukan kumal, lebih tepatnya lusuh. Usianya beranjak tua, dengan raut wajah sengsara. Berjalan tertatih-tatih dengan tangan menengadah. Pelan dia berjalan, dari satu orang ke orang lain, mengumpulkan receh demi receh. Beberapa orang memasukkan tangan ke kantongnya masing-masing dan memberikan sisa receh yang dia punya, sebagian yang lainnya memberikan lembaran uang kertas terkecil yang ada di dompetnya. Dan kebanyakan dari mereka malah cuek bebek - padahal bebek aja gak cuek - dan pura-pura sibuk mengobrol dengan temannya atau sibuk dengan hapenya.
Lalu peristiwa tragispun terjadi tepat di depan mataku ketika peminta-minta renta itu mendekati tiga orang "preman" itu. Tapi... bukan. Bukan nenek tua itu yang mendekati mereka, tetapi tiga cowok itu yang mendekati nenek tua dengan wajah sangarnya. Saya sudah mulai berdebar-debar dan bersiap-siap menerima sebuah kejahatan di depan mata. Dan tambah berdebar ketika salah seorang dari ketiga pemuda berandalan itu mengeluarkan sesuatu dari kantongnya. "Wah, keluar deh ni pisau" pikirku.
Pisau? Celurit? Badik? Itu selintas yang ada di benakku. Dan saya pun sudah siap melihat kilatan senjata itu. Namun. Tidak! Bukan pisau atau celurit atau badik yang dikeluarkan pemuda kumal itu. Bukan!! Pemuda itu mengeluarkan senjata yang lebih tajam yang membuatku meringis. Senjata itu di luar perkiraanku dan begitu membuatku bergetar karena tidak saya duga. Senjata itu adalah UANG kertas lima ribu. Dan dia berikan uang itu kepada pengemis renta itu.
Ada yang menghunjam di ulu hatiku. Senjata itu. Senjata itu begitu tajam mengoyak-ngoyak kesombonganku, sehingga aku begitu meringis. Malu. Tragis. Kejadian itu terjadi di kala aku berusaha berpositive thinking terhadap segala hal, apapun dan siapapun. Tragis, ternyata hatiku masih menyimpan curiga akibat sebuah stigma negatif yang telah tertanam di masyarakat dan masih menguasaiku.
Sahabat. Memang mengena sekali arti sebuah peribahasa Inggris yang berbunyi: 'Don't judge a book by its cover'. Janganlah menilai seseorang dari kulit luarnya. Karena berapa banyak manusia berwajah malaikat berhati setan. Tapi banyak pula golongan yang aku panggil Warahari seperti ketiga pemuda di atas. Warahari bukanlah sekelompok Yakuza Jepang. Ya Warahari adalah golongan Wajah Rambo Hati Rinto - berwajah sangar tapi berhati lembut (untuk mengapresiasi karya dan usaha Rinto Harahap yang bertahan lama, kita ubah konotasi "cengeng" menjadi "lembut").
Sekali lagi saya belajar, ternyata stigma negatif di masyarakat dapat mengotori pikiran positif yang berusaha ditanamkan. Dan saya malu karenanya. Karena itu, buang semua stigma yang jelek. Stigma yang didapat karena peristiwa lalu harus dibuang bersama dengan masa lalu. Maaf, jangan dibuang. Tepatnya, simpanlah di musium masa lalu yang akan ditoleh pada saat-saat tertentu sebagai sebuah pelajaran.
Cag, 5 April 2011
Repost dari blogku www.rifkiferiandi.wordpress.com
Artikel sebelumnya: andaikan-pak-gubernur-dki-adalah-kompasianer/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H