UUD. Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi dasar negara terasa sangat Indonesia karena tetap dipergunakan meskipun sebenarnya disusun pada dan untuk keadaan darurat. Tapi beruntung, sekarang UUD 1945 sudah diamandemen dan disesuaikan dengan kebutuhan bangsa di era globalisasi ini. Namun maaf, UUD yang Paling Indonesia yang saya pertanyakan dalam judul di atas adalah akronim dari Ujung Ujungnya Duit alias korupsi atau penyalahgunaan keuangan.
Jujur saja kita introspeksi diri, korupsi sepertinya sudah menjadi 'makanan' keseharian kita. Dari mulai yang kecil-kecilan dan dilakukan oleh kalangan bawah sampai dengan yang audzubillah besarnya - dengan angka yang fantastis yang dilakukan oleh mereka yang sebenarnya terpelajar. Transparansi Internasional tahun 2010 menempatkan Indonesia di urutan 110 peringkat bersih korupsi dari 168 negara dengan nilai 2.8. Bandingkan dengan peringkat teratas negara bersih dengan nilai 9.3 yang diduduki tiga negara, Denmark, Singapura dan Selandia Baru.
Suatu kenyataan hidup jika uang di negara kita amat sangat mudah berpindah tempat, hanya agar sesuatu keperluan menjadi mudah. Istilah UUD makin dirasakan tepat karena di negara kita apapun yang rasanya sulit akan menjadi mudah karena duit bermain. Dan tidak bisa dipungkiri lagi, bahwa akhirnya hal ini membawa kita kepada sebuah idiom negatif berupa: 'jika bisa dipersulit, kenapa dipermudah'. Bukankah banyak contoh yang memperlihatkan hal itu. Pengurusan KTP yang harusnya gratis, di beberapa tempat seperti disebutkan media, bisa mencapai 500 ribu rupiah. Pengurusan SIM akhirnya lebih mudah memakai calo, baik resmi dari agen pengurusan ataupun tak resmi semacam oknum polisi dan orang dekatnya. Bahkan untuk menjadi pegawai negeri golongan biasa pun langsung lolos dengan menyediakan uang sekian puluh atau seratus jutaan. Dan apakah yang terjadi jika di sebuah toilet suatu instansi perijinan terjadi trasaksi dengan beberapa amplop kosong terlihat bergeletakan di keranjang sampah, atau tatkala terlihat taksi-taksi hilir mudik mengangkat orang dari lobi tapi turun kembali di gerbang. Apatah lagi sesuatu penyalahgunaan uang yang hanya diketahui oleh segelintir orang, dan belum terbuka kepada umum, seperti para politikus yang meminta bagian, dengan contoh kasus terkini wisma atlet Sea Games yang ramai dibicarakan, jika itu benar.
UUD tidak harus melulu identik dengan korupsi. UUD juga harus dilihat dari aktivitas penyalahgunaan atau ketidaktepatan penggunaan keuangan pemerintah. Sebagai contoh yang kentara adalah penggunaan uang untuk kunjungan kerja anggota dewan, pada saat mereka yang dikunjunginya sedang reses. Itu berarti pengeluaran uang yang sia-sia karena hasil yang didapat sangat sedikit. Atau kasus biaya pemeliharaan IT anggota dewan yang besar di saat mayoritas mereka tidak mempergunakannya - bahkan alamat imel saja tidak ingat. Dalam kasus yang sering ditemui, sering juga terjadi penghamburan keuangan negara untuk memperbaiki sesuatu fasilitas yang masih bagus, hanya demi menghabiskan sisa anggaran. Atau bahkan penyalahgunaan keuangan akibat tumpang tindihnya kewenangan, seperti sering terjadi dari contoh badan jalan yang belum terlalu lama diperbaiki, kemudian digali lagi untuk penanaman kabel ini atau itu. Dan menjelang akhir tahun anggaran, di mana kantor-kantor departemen departemen di daerah sibuk mengisi daftar isian proyek, bisa ditanya apakah sibuk juga pelaksanaan audit pengawasan dan pertanggungjawaban keuangannya? Hmm...meragukankah?
Saya merasakan bahwa slogan anti korupsi kok terasa artifisial, hanya di mulut, tidak dalam kegiatan sehari-hari, dan bisa diibaratkan hanya kosmetik saja. Saya tidak merasakan sebuah kesungguhan gerakan anti korupsi atau anti penyalahgunaan keuangan yang muncul dari sebuah hati yang bersih, tekad yang jernih dan kemauan yang kuat. Semuanya terasa hanya berada di permukaan saja, di tataran wacana, dan sepertinya hanya demi setor muka saja kepada atasan bahwa 'nih, saya sudah berantas korupsi'. Sangat sedikit sebuah aktivitas atau inisiatif dari para pembesar negeri yang memperlihatkan kesungguhan dan contoh sederhana bahwa mereka melakukan sebuah efisiensi dan tindakan yang bersih dari korupsi. Jikapun seorang pemimpin memperlihatkan tekad seperti itu, orang sekelilingnya, para pembantu atau bawahannya, justru mementahkan hal itu. Jika dilihat dari sisi ini, sepertinya belum terjadi perubahan signifikan dalam mengentaskan korupsi dari muka bumi Indonesia.
Sekaranglah saatnya kita tinggalkan UUD - Ujung ujungnya Duit. Yang sekarang diharapkan, dan sebenarnya diharapkan dari dulu, adalah adanya pemimpin yang menjadi agen perubahan -agent of change - dan membawa negara ke arah yang lebih baik. Seorang pemimpin yang negarawan, yang bernurani serta bersih dari riwayat dan keterkaitan dengan sesuatu keburukan, sehingga dalam melaksanakan tugasnya pun lepas, tegas dan tidak terbebani ketakutan boroknya terbuka, karena memang tidak mempunyai borok. Akan percuma rasanya ide-ide canggih memberantas korupsi, sampai dengan yang fantastis dan spektakular semacam ide 'potong satu generasi birokrat di semua lini', jika pemimpin dari generasi selanjutnya itu masih beban keborokan dan keburukan masa lalu sehingga menjadi beban dalam melangkah dan lembek dalam bertindak. Yang dibutuhkan sekarang adalah seseorang yang berani bertindak TEGAS dan tidak takut akan konsekuensi sebuah keputusan, karena dia tak mempunyai beban apapun. Yang dia takutkan hanya pertanggungjawaban terhadap diri sendiri dan kepada Tuhannya.
Boleh lah kita ikut keberanian seorang Zhu Rongji, Wakil Perdana Menteri Cina di tahun 1996 yang berkata: 我这里准备了一百口棺材,九十九口留给贪官,一口留给自己! - I'll prepare a hundred coffins, 99 for corrupt officials and one for myself. 'Saya sediakan seratus peti mati. Sembilan puluh sembilan untuk para koruptor. Dan satu untuk saya, jika saya melakukan korupsi'. Hhh, jadi bermimpi andaikan semua pejabat di semua departemen publik diminta untuk mengucapkan sumpah seperti itu, dan mereka konsisten dengan sumpahnya, rasanya sedikit demi sedikit korupsi di negara kita akan berkurang. Namun mungkin itu masih sebatas mimpi. Karena bahkan dengan sumpah dan janji tertinggi di bawah kitab suci dengan mengucap nama Ilahi pun, masih seperti begini.
Lalu? Inilah saatnya kita memunculkan pribadi-pribadi yang tanpa beban keburukan dan kebobrokan, yang berpribadi unggul, bersih, berani dan tegas - sederhananya: berakhlak mulia, untuk lebih dikenal publik dan berani muncul. Yakinlah kita bahwa mereka-mereka itu pasti ada di sekitar kita. Temukanlah mereka, dan berilah mereka dukungan. Masa sih tidak ada orang seperti itu di antara sekian ratus juta rakyat Indonesia?
Cag, 22 Mei 2011
Kutipan termasuk huruf Cina didapat dari wikiquotes.
rifkiferiandi.wordpress.com