'Kloningan' sekarang menjadi sebuah kata populer di Kompasiana. Saya yang vakum dari aktifitas intensif menulis di Kompasiana, cukup kaget - atau justru tidak kaget - dengan kehebohan ini. Lalu, saya baca tulisan Mbah Zahra berjudul 'Dari Mana Pak Agus Sutondo Dapat Inspirasi menulis?' beserta dengan komentar-komentarnya. Dari tulisan itu saya bisa menduga siapa kira-kira yang sebenarnya akun kloningan, karena saya cukup bisa mendapati benang merahnya.
Kemudian saya tersenyum, karena saya berpendapat bahwa untuk menjadi akun kloningan yang baik itu - sehingga sulit ditebak - setidaknya butuh tiga syarat utama. Ketiga hal itu adalah: Smart, Punya siasat, Kuat daya ingat.
Kenapa saya berkata demikian? Karena saya mempunyai pengalaman memalukan, gagal menjadi akun kloningan. Ceritanya begini.
Di penghujung Januari, tatkala genap setahun di Kompasiana, saya memutuskan berhenti dari Kompasiana. Berhenti total. Saya buat dua tulisan permisi, berbahasa Sunda dan berbahasa Indonesia. Keputusan itu adalah karena saya inginnya berkonsentrasi di aktivitas yang lain yang saat itu - dan saat ini - membutuhkan perhatian saya. Namun saya tidak menduga, jika kita sudah terbiasa menulis, pasti masih ada dorongan kuat untuk menulis. Dorongan itu terkadang tidak bisa dikalahkan.
Meski sedikit malu karena sudah menyatakan permisi, saya akhirnya menulis sebuah artikel lagi. Kali ini terpaksa saya menulis, karena topik yang ditulis adalah mengenai resensi Negeri Lima Menara, dan saya terpaksa menulis karena ....saya mendapat tiket gratis.
Itulah tulisan saya terakhir, bukan? Ternyata bukan saudara. Karena gairah menulis saya masih besar, dan dengan nyolong-nyolong waktu, saya masih bisa membuat satu artikel lagi. Tapi, di mana ditaruhnya? Ditaruh di akun ini? Jujur saja saya kan malu. Wong sudah permisi kok balik lagi. Istilah Sunda nya 'pabalik letah'. Akhirnya, kuputuskan membuat akun kloningan. Inilah akun kloningan saya.
Baru satu saja saya membuat artikel di akun kloningan ini, saya menyadari kalau saya bukanlah tipe orang yang bisa gampang mengkloningkan diri. Saya tidak memiliki ketiga syarat itu. Saya tidak smart, tidak punya siasat dan lemah daya ingat. Sebagai akibatnya adalah hal yang sangat memalukan. Sewaktu saya ingin melihat seberapa banyak tulisan di akun kloningan itu dibaca dan dikomentari orang, saya masuk ke dashboardnya - dengan memakai login akun ini. Sangat tidak smartnya lagi adalah, saya membalas komentar yang masuk dengan memakai akun ini, dan bukan akun kloningan. Suwer, saya tidak ingat saat itu jika saya login dengan akun yang salah. Dan saya pun tidak bisa bersiasat misalnya dengan membuat aturan, akun ini dibuka di komputer, sementara akun kloningan harus dibuka di hape. Jadinya, setelah dua komentar saya balas, kagetlah saya, karena kok nama Rifki membalas akun kloningan ini seolah si pemilik akun kloningan ini ya si Rifki. Ketebak kan kalo saya adalah pemilik akun kloningan.
Suwer, saya dobel malunya. Untung tidak ada - atau belum ada - yang menyadarinya, dan untung tidak ada yang melihat wajah dan telinga saya memerah. Ah, dasar. Beginilah nasib orang jujur dan tidak ada tampang mbuat kloningan.
So, bagi yang mau bikin akun kloningan, pastikan tiga syarat di atas terpenuhi, kalau tidak maka kau akan merasa HINA akunnya tertebak. Halah.
And finally, jangan buru-buru minta permisi atau pamit ninggalin Kompasiana, selama hatimu masih di sini karena tarikan Kompasiana begitu kuat. Dalam hal ini, saya tidak merasa hina untuk berkata, saya batalkan pamit totalnya, dan saya masih akan berkunjung dan menulis lagi di Kompasiana. (Yah, setidaknya masih bisa mengikuti acara gratisan....)
Cag heula, saat wiken di Bandung yang lagi macet