Membaca pernyataan Perwakilan Deutsches Institutes fur Normung (DIN), Dr Bernd Maskos bahwa kunjungan anggota dewan ke DIN salah alamat , saya hanya bisa tertawa dan bergumam "Kok bisa ya?". Jika itu benar, bukankah itu berarti para anggota Dewan mengunjungi Jerman "untuk memastikan bahwa mereka salah alamat?"
Dari peristiwa itu, rasanya sudah sangat layak lembaga sekelas DPR melakukan sebuah pengetatan dalam perijinan kunjungan kerja. Tidak usah muluk-muluk dan berlebihan, lakukan saja tiga syarat kunjungan kerja DPR gaya baru di bawah ini:
- Diwajibkan di setiap kunker mengikutsertakan perwakilan PPI atau komunitas warga Indonesia lainnya sebagai pengamat di dalam pertemuan itu. Bukankah pertemuan itu membahas sesuatu yang tidak rahasia dan demi kepentingan rakyat? Biarkanlah wakil-wakil dari rakyat (dalam arti sebenarnya) menemani "wakil rakyat" kita.
- Diwajibkan untuk menayangkan jalannya pertemuan kunker ke area publik seperti melalui media sosial dan youtube (seperti yang dilakukan Pemda DKI), sehingga rakyat mengetahui apakah wakilnya itu bekerja profesional atau malah mempermalukan bangsa, apakah konten pembicaraannya esensial atau hanya untuk mengkonfirmasikan bahwa mitra yang dikunjunginya ternyata bukan mitra yang tepat
- Diwajibkan untuk mengadakan press release atau tanya jawab dengan perwakilan PPI atau komunitas warga lainnya setelah selesainya kunjungan dan sebelum beranjak pulang ke tanah air.
Menarik jika kita lalu mengkhayalkan apa yang dilakukan Wagub Basuki (Ahok) dilakukan juga oleh atasan-atasan para anggota Dewan yang melakukan kunjungan kerja - atau oleh ketua komisi:
"Bapak mau berkunjung ke mana? Jerman? Siapa yang mau diketemui? Coba jelaskan siapa mereka? Apa yang unggul dari mereka? Apa keuntungan yang bisa kita petik untuk bangsa? Apa tidak ada alternatif lain yang bisa ditemui yang lebih baik? Apa tidak bisa dicari informasinya dari internet atau kirim saja email? Apa sudah berkomunikasi dengan mereka? Apa benar mereka kapabel? Mana bukti kapabilitas mereka? Mana surat pernyataan bahwa mereka kapabel dan bersedia menerima Bapak? Bapak bisa bahasa Jerman gak? Bahasa Inggris? Kalau gak bisa, kenapa tidak bawa penerjemah? Kenapa bawa istri? Coba kasih tiket pesawat istrinya? de el el".
Hal di atas kan sederhana dan tidak berlebihan ya. Tapi, apakah "yang terhormat di sana" berani tidak menerima tantangan ini?
Cag, ah....rieut
(hal-hal di atas adalah hal yang umum ada di benak warga, termasuk apa yang dikemukakan oleh anggota PPI di Koran Tempo)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H