Mohon tunggu...
Rifki Feriandi
Rifki Feriandi Mohon Tunggu... Relawan - Open minded, easy going,

telat daki.... telat jalan-jalan.... tapi enjoy the life sajah...

Selanjutnya

Tutup

Edukasi

Tatkala Kang Pepih "kepeleset lidah"

29 Oktober 2011   22:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:18 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Beauty. Sumber ilustrasi: Unsplash

(sebuah catatan tak signifikan)

Kompasiana Blogshop hari ini di Jakarta begitu fenomenal. Para Kompasianer yang mendaftar dan datang sekitar 120an lebih, disuguhi berbagai pengetahuan baru mengenai tulis menulis dan blogging dari mereka yang kompeten (dan gratis lagi). Salah satunya dari Kang Pepih Nugraha (we know him so well, ya?)

Dalam workshop di Jakarta ini Kang Pepih berkenan membagi pengalamannya dalam menulis NARASI. Sebuah sharing yang sangat bermanfaat.

Namun, mungkin lepas dari perhatian para Kompasianer, dan bisa jadi luput juga dari kacamata Kang Pepih yang tidak berkacamata, ialah saat beliau "kepeleset lidah". Kepeleset lidah di dalam tanda kutip yang berarti mungkin tidak dianggap kepeleset lidah bagi orang lain, tetapi beberapa orang mungkin merasakan sebaliknya. Itulah saat Kang Pepih memakai kata "autis" ketika membahas perilaku para remaja dalam menggunakan gadget - teknologi yang membuat mereka tidak sadar dengan sekeliling.

Kenapa saya berpikir bahwa hal itu adalah kepeleset lidah?

Sederhana sih jawabannya, karena saya mendapat penyadaran dari kawan Kompasianer lainnya yang - yang adalah orang tua dari anak autis - membagi informasi bahwa kata autis sering dipergunakan tidak pada tempatnya. Saat itu saya termasuk golongan yang sering "kepeleset lidah" secara sengaja, menggunakan kata "autis" secara serampangan. Pada saat-saat seperti itu saya tidak memahami secara benar apa arti kata autis itu, apa penyakit autis itu, dan bagaimana perasaan mereka yang mempunyai sanak famili yang menderita autisme dan mendengar hal itu. Sampai akhirnya Mbak Aulia Gurdi menulis sebuah artikel berjudul "Gunakanlah idiom kata Autis pada tempatnya".

Dalam tulisan tersebut Mbak Aulia menjelaskan"...Menggunakan kata autis untuk olok-olok terang berkonotasi negatif. Tanpa disadari telah memperjelas kekurangan seseorang. Terasa sangat menghinakan bahkan melecehkan.

Mungkin tak ada maksud sejauh itu bagi mereka yang mengucapkannya. Saya mafhum. Namun jika ucapan kita adalah sebuah doa, ucapkanlah sesuatu sesuai pada porsinya. Mengingat autis adalah gangguan prilaku kompleks, jangan pernah sebut dan menyematkan label autis ini pada orang sehat walafiat apalagi pada anak-anak kita. Bagaimana bila ucapan itu teraminkan???

Sejak itulah saya berusaha tidak menggunakan kata "autis" secara serampangan, meski mendapatkan kesulitan yang cukup berat, berhubung lingkungan di sekitar saya masih banyak menggunakannya. Dan saya yakin, itu juga yang terjadi dengan Kang Pepih, persis seperti yang terjadi pada diri saya beberapa waktu lalu.

Yang menjadi menarik dengan "kepeleset lidah" di Kang Pepih adalah karena beliau adalah public figure, seseorang yang ditokohkan di Kompasiana, dan memiliki pengaruh besar di kalangan Kompasianer. Sadar atau tidak Kang Pepih menjadi mempunyai beban moral yang lebih besar dengan "kepeleset lidah"nya itu ketika kita mengetahui artikel Mbak Aulia itu pernah nongkorong di kolom Rekomendasi Kompasiana (yang bukankah tulisannya direkomendasikan punggawa Kompasiana)  cukup lama, sehingga bahkan bisa dibaca 1400 orang. Dan itu berarti kita bisa mengasumsikan bahwa Kang Pepih membacanya.

Saya yakin, namanya juga kepeleset, perbuatan tidak sengaja, Kang Pepih pun sama sekali tidak bermaksud demikian. Dan saya yakin Kompasianer yang mendengarnya pun tidak terlalu mempermasalahkannya. Kita melihat Kang Pepih sebagai pribadi yang baik, apalagi dengan topik Hati Nurani-nya. Jadi, ini hanya catatan tidak signifikan. Namun mungkin sekali akan dirasakan 'tidak se-tidak signifikan' itu di hati Kompasianer yang hadir yang bisa jadi mempunyai anak penyandang autis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Edukasi Selengkapnya
Lihat Edukasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun