Mohon tunggu...
Rifki Feriandi
Rifki Feriandi Mohon Tunggu... Relawan - Open minded, easy going,

telat daki.... telat jalan-jalan.... tapi enjoy the life sajah...

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

[Resensi] Film "Negeri 5 Menara" - Tontonan Beragam Nuansa dan Makna

20 Februari 2012   15:04 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:25 11527
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

darimenara ke menara enam sahabat jauh darikampung halaman saling mengikat janji untuk satu impian berikrarkan satu mantra man jadda wajada Ada kelucuan, ada rasa haru, muncul rasa bangga dan bertaburan nilai dan makna. Mengasyikan. Itulah kesan yang didapat saat menyaksikan pemutaran film Negeri 5 Menara di Blitz Pacific Palace untuk kalangan media semalam - 17 Februari 2012. Film Negeri 5 Menara (N5M) diangkat dari novel best seller berjudul sama karya Ahmad Fuadi yang tentu saja hadir saat itu. Film itu diproduksi oleh KG Production - Million Production, yang juga didukung oleh Bank Indonesia serta Islamic Banking, dengan penulis skenario Salman Aristo (yang juga penulis skenario Ayat-ayat Cinta, Laskar Pelangi dan Garuda di Dadaku) dan sutradara Affandi Abdul Rachman.

Mengangkat kisah perjalanan enam orang santri dari enam daerah berbeda di Pesantren Madani, Ponorogo, Jawa Timur, fokus cerita ini berada di kehidupan santri bernama Alif. Cerita dibuka dengan berlariannya dua orang anak SMP yang riang gembira merayakan kelulusannya, menuju tepi danau, dengan suguhan latar belakang keindahan alam yang sederhana namun memikat. Salah satu anak itu - Alif - kemudian menemui dilema antara keinginannya bersekolah di Bandung dan pilihan ibunya yang menginginkan dia bersekolah di pesantren. Konflik bathin diolah sutradara melalui dialog sang ayah, ibu dan Alif sendiri dalam bahasa Minang - dan diikuti teks terjemahan bahasa Indonesia, atau melalui adegan-adegan visual yang bagus dan realistis. Bukankah adegan sederhana saat Alif ngambek, mengurung diri di kamar dan tidak menjawab panggilan ayahnya dari balik pintu yang dia kunci merupakan sebuah hal yang sangat normal dan wajar dilakukan oleh seorang remaja seukuran Alif. Kandungan lokal Minang pun menarik disuguhkan dalam bentuk transaksi jual beli dalam sarung khas Minang. Penggalan-penggalan pembuka ini kemudian beralih dengan halus ke dalam inti cerita melalui perjalanan Alif dan ayahnya ke Jawa untuk mendaftarkan diri di Pondok Pesantren. Di sini, kembali penonton disuguhi pemandangan-pemandangan alam yang khas Indonesia dan dalam satu sisi cukup memunculkan rasa bangga dengan alam sendiri.

Di Pondok Pesantren inilah kisah sebenarnya mulai dibuka. Cerita mengalir lancar. Saat kedatangan calon siswa, berujian, kelulusan dan pengenalan lingkungan diungkapkan dengan jelas meski dengan intensitas cepat, termasuk dengan setting dan sudut pengambilan gambar Pesantren yang menarik. Lalu tibalah saat adegan di kelas tatkala Ustadz Salman sebagai wali kelas datang untuk pertama kalinya. Beliau memotong kayu dengan usaha yang gigih di depan para siswa. Man Jadda Wajadda. "Ingat, bukanlah yang tajam. Siapa yang bersungguh-sungguh, dia lah yang berhasil". Sebuah adegan yang sangat menarik dan bermakna sehingga kemudian menjadi moral keseluruhan cerita. Man Jadda wa jadda mewarnai persahabatan yang indah dan menyentuh enam orang yang lalu menjadi sahabat: Alif, Baso Salahudin, Atang, Said Jufri, Raja Lubis dan Dulmajid. Bagaimana persahabatan itu diikat oleh ikrar sahibul menara, tempat setia mereka berkumpul. Bagaimana mereka mencanangkan cita-citanya yang melingkupi lima menara di lima penjuru.

13297495981369850366
13297495981369850366
Dalam cerita ini pulalah mata penonton dibuka terhadap kehidupan pesantren. Ada ketegasan disiplin dengan simbol lonceng "jaras" penanda batas terlambat dan tidak, dengan figur senior penegak disiplin ("Ada Mike Tyson" - kata Atang) yang menghukum berdiri bersaf dan jewer telinga tetangga sebelahnya. Ada pertunjukan kreatifitas pondok berupa tantangan lomba pidato (lengkap dengan kreatifitas santri sahibul menara dalam mengatasi kegugupan Baso sebagai wakilnya). Ada kekakuan kebiasaan yang dicoba didobrak (meski hanya berupa menonton teve - pertandingan Thomas Cup yang kalah). Dan ada juga kebebasan seni yang mungkin selama ini tidak terbayang akan muncul di dalam sebuah pesantren (asistensi maen gitar oleh Kyai Rais atau tari patah-patah di pentas lomba seni). Juga kenyataan-kenyataan keseharian sebuah pondok ('mati lampu kok jadi kebiasaan', 'memang benar ustadz di sini tidak digaji?'). Kenyataan-kenyataan sederhana yang menarik untuk dinikmati sekaligus memiliki dasar filosofi mendalam. Sahibul MenaraTerus terang tontonan ini menyegarkan karena juga penuh dengan kelucuan khas remaja, khas pesantren, khas multi ras dan tidak dibuat-buat. Atang, sebagai seorang dengan dialek Sunda yang kental, sudah cukup menjadi pemantik kelucuan itu karena ya lucu, tanpa bermaksud menghina sebuah suku. Juga seorang Baso yang paling agamis di antara enam sekawan itu, sering membuat tersenyum simpul saat dia berusaha menghindari menatap gadis-gadis di sekolah. Di beberapa segmen bahkan kelucuan-kelucuan itu justru memberikan sebuah makna yang cukup dalam. Contohnya adalah saat enam sekawan itu dihukum menjewer telinga kawan disebelahnya, Alif - yang telinganya bebas merdeka dari jeweran sebab tangan Mike Tyson-nya lepas, karena dia harus berbicara dengan ustadz yang lewat, dengan sadar menyuruh teman-temannya membentuk lingkaran sehingga semuanya tanpa kecuali - termasuk dia - mendapat jeweran teman sebelah. Sebuah kesadaran akan keadilan yang muncul dari diri sendiri.

1329749693788865975
1329749693788865975
Adegan yang paling berkesan bagi saya dalam film ini adalah justru pada saat sahibul menara ingin bertemu Pak Kiai Rais mengenai generator yang byar pet. Enam sahabat itu dengan SEPAKAT meminta Atang untuk menjadi pemimpin kelompok dengan alasan dia yang PALING MENGUASAI masalah mengenai generator. Dan Atang meski dengan sangat gugup MENERIMA tugas itu, dan memimpin kelompoknya bertemu bertatap dan MENGEMUKAKAN pendapatnya kepada Kiai Rais, yang notabene Pemimpin tertinggi pesantren. Dan Kiai Rais pun memberikan sebuah jawaban terhadap pendapat kelompok itu secara BIJAKSANA - memberi kail dan umpan, dan bukan memberi ikan. Kamu yang bertanya pastilah kamu yang mengetahui masalahnya. Kamu yang tahu masalah, pastilah kamu juga mengetahui solusinya. Begitu kira-kira Kiai Rais berkata. Adegan yang sangat dalam artinya. Sahibul Menara plus Awak film dengan penulis buku serta Pimpinan Pondok PesantrenSeperti halnya dalam cerita atau film lainnya, N5M pun mempunyai adegan yang sangat menyentuh. Itulah tatakala Baso - yang ternyata seorang yatim piatu, dijemput tetangganya - yang disangka pamannya - kembali ke Gowa untuk merawat neneknya yang renta yang selama ini mengasuhnya dari kecil. Saat Baso memberi obat neneknya, lalu mengajar anak-anak kecil di kampungnya mengaji serta menempelkan sobekan peta di dinding kayu rumahnya, berbicara begitu banyak makna. Mengharukan.

13297497811432830439
13297497811432830439
Dengan diseling di sana-sini kisah Alif sebagai reporter majalah pesantren - termasuk romantisme mendapatkan perhatian dari keponakan Kiai Rais, intensitas cerita menanjak dalam menghadapi pertunjukan seni tahunan dengan membawakan tema Ibnu Batuta. Keberhasilan Kelas dua yang dipimpin oleh kelompok sahibul menara minus Baso itu lah yang menjadi puncak inti cerita bahwa Siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil. Man Jadda Wa Jada. Dan adegan itu pula lah yang mengantarkan penonton kepada segmen terakhir cerita ketika keenam anak itu lalu bisa bertemu membuktikan keberhasilan mereka masing-masing dan merealisaikan pencapaian lima menara. Meski hadir dengan banyak pemeran pendatang baru, film ini bisa dikatakan enak ditonton. Para pemeran berhasil memberikan olah peran yang maksimal dan mengalir. Dua orang yang terlihat berperan cukup menonjol dalam filem ini adalah pemeran Atang dan Baso Salahudin. Mereka berdua berhasil menyemarakan dan menghidupkan cerita secara maksimal dengan kewajaran peran. Para aktris dan aktor senior pendukung filem ini, seperti Ikang Fauzi, David Chalik, Lulu Tobing, Andhika Pratama sepertinya sudah memberikan usaha yang maksimal. Setting cerita dan background gambarnya pun bisa dengan santai dinikmati, dan malah memberi kebanggaan tersendiri terhadapa kecantikan ibu pertiwi. Konflik cerita pun mengalir enak dan mudah dicerna.

1329749869318517060
1329749869318517060
Namun apakah filem ini sudah bisa dikatakan sempurna? Tidak ada gading yang tidak retak. Dan tidak ada kesempurnaan di bumi ini, termasuk juga film ini, bukan? Ada beberapa penggalan cerita yang rasanya agak mengganjal. Di perjalanan cerita, Ikang Fauzi sebenarnya sudah mulai berhasil memerankan tokok Kiai Rais. Namun kemunculan segmen ketika beliau mengajari santri bermain gitar, sepertinya malah mementahkan usaha keras itu karena akan mengingatkan penonton akan siapa Ikang Fauzi itu (mungkin hal ini tidak terlalu menjadi masalah bagi penonton muda yang tidak mengetahui siapa Ikang Fauzi itu). Hal lain yang mungkin bisa membuat penonton lebih asyik menikmati filem ini adalah jika peralihan dari inti cerita (yang berujung selesainya pentas Ibnu Batutta) ke ujung cerita (dengan bertemunya ketiga sahabat di Trafalgar Square) berjalan lebih halus, tidak terlalu drastis seperti menggabungkan dua penggalan cerita yang berbeda. Ujung cerita Negeri 5 Menara pun rasanya bisa dibuat lebih menggigit, sehingga terhadi penekanan lebih dalam adegan penutup, untuk meyakinkan penonton bahwa enam sahabat itu sudah mencapai KEBERHASILAN pada saat bertemu, dan tidak hanya sekedar BERTEMU. Dengan demikian diharapkan klimaks cerita bisa terulang di ujung film dan tagline Man Jadda Wa jada - Siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil - lebih tertancap di hati penonton. Salut terhadap Mas Ahmad Fuadi yang bertekad melebarkan sayap prinsip "kita bisa mengubah dunia hanya dengan kata-kata" ke dalam sebuah layar lebar: "kita juga bisa mengubah dunia dengan gambar yang berbicara".

13297499861675398807
13297499861675398807
Apakah film ini lebih bagus dari bukunya?

Rasanya tidaklah kita bisa bandingkan sebuah karya film dan karya tulis, karena masing-masing pun mempunyai kadar kebebasan imajinasinya masing-masing. Namun, silakan penonton menentukan. Negeri 5 Menara. Tontonan beragam nuansa dan makna yang direkomendasikan untuk ditonton dan sangat tepat menjadi pilihan alternatif kebosanan melihat tontonan-tontonan tidak mendidik dan tidak bermakna 20 Februari 2012 Godaan menulis di Kompasiana begitu besar, sehingga tarikan itu berhasil memaksa saya menulis setelah permisi. Malu? Iya sih, cuman buat Kompasiana, gak perlu malu lah.....

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun