Mohon tunggu...
Rifki Feriandi
Rifki Feriandi Mohon Tunggu... Relawan - Open minded, easy going,

telat daki.... telat jalan-jalan.... tapi enjoy the life sajah...

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Pernyataan Pak Adang Darajatun dan tendensi kekacauan logika

11 Juni 2011   12:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:37 350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membaca berita mengenai Pak Adang Darajatun di metrotvnews.com, kepala saya cukup lama menggeleng. Inginnya sih berpikir keras, tapi tidak berpikir keras pun nyatanya sudah benderang sesuatu yang selama ini saya rasakan: kayaknya negara kita mulai meninggalkan logika.

Coba kita perhatikan satu-satu:


  • "Mantan Wakil Kepala Kepolisian RI itu menilai istrinya diperlakukan tidak adil dan jadi korban para penegak hukum yang tidak profesional". Logika saya berkata bahwa kepolisian adalah salah satu bagian dari penegak hukum, sehingga sebagai orang yang pernah menjadi bagian dari penegak hukum - dengan memegang jabatan tertinggi kedua kepolisian periode-periode  sebelumnya, saya justru mengharapkan peran serta aktif dalam menegakkan hukum dan profesionalitas, salah satunya dengan cara membuktikan bahwa istrinya diperlakukan tidak adil secara hukum juga. Logika saya berkata Pak Adang, penilaian diperlakukan tidak adil harus lewat jalur yang benar. Bisa saja anggota DPR yang divonis pun berkata tidak adil.

  • "Nunun bukanlah saksi kunci ....Buktinya, kata Adang, empat proses sidang hingga vonis empat mantan anggota DPR, ..., tuntas tanpa kehadiran istrinya sebagai saksi".Betul logikanya Pak Adang, jika tanpa kehadiran Bu Nunu sidang berjalan sampai vonis, itu berarti Bu Nunun bukan saksi kunci. Tapi, kenapa juga harus capek-capek kabur Pak jika sebenarnya Bu Nunun bisa bersaksi meski bukan sebagai saksi kunci? Logika saya yang cetek berkata Bu Nunun tahu sesuatu mendasar, karena jika tidak kenapa juga harus mempermalukan diri dengan kabur dan diomongin macam-macam - atau istilahnya divonis - oleh masyarakat melalui media.

  • "...tidak satupun yang menyebut menerima cek pelawat dari Nunun. "Travel check itu diterima dari Ari Malangjudo," kata Adang. .... Keterangan asal cek perjalanan dari Nunun Nurbaeti hanya dari Ari Malangjudo. "Kalau disuruh mengapa mau," kata Adang". Suwer, saya kok menjadi bingung. Logika saya berkata, "Saya terima sesuatu dari Si A dan Si A terima dari Si B. Untuk kasus yang sama bukankah itu berarti Si B terlibat dalam pemberian sesuatu kepada Si A. Apalagi Pak Adang sendiri yang berkata "disuruh" yang berarti Bu Nunun secara sadar "menyuruh".

  • Dalam hal lain, saya kok merasa sangat tidak sreg dengan perkataan terakhir tentang "Kalau disuruh mengapa mau". Betul Pak Adang, inilah mental bangsa Indonesia, yang belum terbiasa menyatakan sesuatu berbeda dan menolak sesuatu yang diperintahkan atasan. "Ari Malangjudo adalah bekas Direktur PT Wahana Esa Sejati, perusahaan milik Nunun'. Logika saya berkata bahwa "jika disuruh (oleh pemilik perusahaan) kemudian tidak mau, apa yang akan terjadi? Logika saya menjawab bahwa jawaban seperti itu yang ada di benak Ari. (Maaf, saya bukan membela dia, karena saya tidak ada kepentingan dengan segala hal ini)

  • "Waktu dua kali diperiksa, tidak terbukti," kata Adang. Karena sakit lupa ingatan, Nunun lantas dibuatkan berita acara pemeriksaan. Kehadirannya di sidang tidak diperlukan. Karena itu, Adang menilai, keterlibatan Nunun dalam kasus cek perjalanan itu sudah selesai. Karena tidak ada yang bisa membuktikan Nunun terlibat. Nah, kalau ini logika saya berjalan sama Pak Adang. Dua kali diperiksa tidak terbukti, dibuatkan BAP, kehadiran tidak diperlukan. Selesai. Tidak terlibat. Namun Pak, ada logika lainnya yang tidak sejalan. Apakah untuk perkara hukum berjalan segampang itu mengambil kesimpulan? Lupa ingatan. Tidak diperlukan. Selesai. Tidak terlibat. Jika segalanya berdasarkan keputusan pengadilan sih ya boleh lah.

  • "Padahal, kata Adang, Ari Malangjudo tetap melenggang. Bahkan, lanjut Adang, motivator Ari yang berinisial MG (Miranda Goeltom), juga tak jadi tersangka. "Apakah ini adil, Ibu diburu sampai ke 188 negara," tanya Adang". Logika saya juga sama, kok AM dan MG melenggang. Bukankah seharusnya mereka semua juga sama dengan Bu Nunun. Semua sama di mata hukum. Namun Pak, jika saja Bu Nunun mau terus bersaksi, dia tidak akan diburu kan Pak? Dia diburu karena tidak available. Jika Bu Nunun bersedia terus dipertemukan dengan AM atau MG dan menjelaskan segalanya di pengadilan, segalanya akan jelas Pak. Dan jika Pak Adang percaya jika Bu Nunun tidak bersalah, ya dorong Ibu untuk terus menghadapi sidang Pak. Jangan takut. Sebagai seorang yang memiliki kebanggaan diri, Bapak kan ingin menegakkan kebenaran dan keadilan. Hadapi Pak. Jika ibu memang sakit pelupa, logika saya kok gampang - atau menggampangka, Bu Nunun hadiri saja sebuah sidang, di sana akan ketahuan Ibu memang sakit lupa atau "lupa".

  • "Padahal, jelas Adang, banyak koruptor kakap yang menggangsir uang negara dan rakyat. Mereka dibiarkan jalan-jalan di Singapura, tidak disentuh sama sekali. "Saya dizalimi. Selama ini saya diam, kalau begini saya tersinggung," jelas Adang". Wah kalau ini logika saya sejalan sekali Pak. Banyak koruptor dibiarkan jalan-jalan di Singapura. Bahkan seorang Kompasianer menulis sebuah artikel mengenai Singapura sebagai surga mafia. Logika saya pun berkata bahwa perjanjian ekstradisi dengan Singapura adalah sebuah keharusan, dan menjadi prioritas utama. Entahlah mungkin logika saya berbeda dengan logika pemerintah, atau memang kenyataannya yang tidak sejalan dengan logika.

  • "Jika Nunun tertangkap dan diadili di Indonesia, Adang meminta majelis hakim berlaku adil. Ia meminta hakim membongkar motivator dan peran Ari Malangjudo agar semuanya jelas. "Saya ingin terang benderang siapa otak intelektualnya," kata Adang. Nah kalau mengenai ini, saya sepakat sekali. Logika kita ternyata sama Pak. Bongkar saja semuanya agar jelas sampai orang di belakang ini terungkap.


Dari beberapa poin permainan logika saya dengan pernyataan Pak Adang Darajatun di atas, saya kok melihat sebuah tendensi kekacauan logika. Entahlah apa logika saya yang tidak lurus atau logika Pak Adang yang melenceng. Bahkan setelah membaca beberapa berita sejenis di media masa, termasuk untuk kasus Pak Nazarudin, saya justru kok merasa bahwa logika yang saya rasakan kok jadi kacau. Apakah negara sedang mempermainkan logika, ataukah saya yang harus ke rumah sakit jiwa karena logikanya tidak sama?

Ah, pusing amat memikirkan logika dan kekacauan seperti ini. Malam minggu gitu loh, gak usah mikirin yang begini. Nikmati saja bersama keluarga.

Nah, itu logika yang mantap. Mareee.....

Cag, 11 Juni 2011

Ssst...Apa Nazarudin Sudah Mengirimkan Surat Sakit ya?

Antara ayam dan Kompasianer - esensi berKompasiana

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun