Mohon tunggu...
Rifki Feriandi
Rifki Feriandi Mohon Tunggu... Relawan - Open minded, easy going,

telat daki.... telat jalan-jalan.... tapi enjoy the life sajah...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mungkinkah dia itu Ahli Surga?

5 Maret 2011   13:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:02 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sejenak kita tinggalkan masa kini, dan kembali berjalan ke masa lalu, 'jaman normal'. Sebentar saja. Kita kembali ke jaman di saat televisi belum berubah menjadi "racun", informasi datang terkadang seadanya, dan lembaga 'keluarga' masih terikat erat. Masa itu adalah masa di kala saya masih dalam tanggung jawab ibu bapakku.

Saat itu saya hanya melihat satu hal dari orang tuaku - seperti umumnya orang tua dahulu: mereka adalah orang biasa, dan mereka adalah orang baik-baik. Segala hal yang diminta dan diharapkan dari anaknya adalah hal kebaikan. Demikian juga yang diajarkannya baik langsung atau tak langsung, secara verbal ataupun tanpa suara adalah kebaikan.

Saya mencoba merenung, sekarang, setelah bertahun-tahun masa itu lewat. Dan saya baru memahami bahwa orang tua kita mengajarkan hal-hal yang begitu agung.

Ingatkah kita tatkala tetangga kita membuat suatu masalah, apakah itu dalam bentuk suara tape yang kencang, meminjam alat-alat tukang tanpa dikembalikan, sedikit-sedikit minta air ledeng atau hingga anak-anaknya yang sering berantem atau ibunya yang merokok. Apa yang dilakukan orang tua kita? Mereka cenderung mengalah dan berlindung di balik segala hal-hal yang baik, meski menurut kita - anaknya yang merasa modern, hal itu cermin simbol kelemahan diri.

Bukankah yang orang tua kita sarankan adalah 'ya sabar saja, itu godaan Allah', atau 'tetangga itu adalah orang yang paling dekat pada saat kita sengsara, jadi tidak apa-apalah dia begitu, nanti dia pasti membantu kita', atau 'air itu penting bagi kehidupan, jadi sedekah air itu utama' atau bahkan 'biarkan saja, anak-anaknya sedang butuh perhatian bapaknya?'. Tidak terlihat emosi yang meledak. Bahkan jika kekesalan kita sudah memuncak, orang tua kita cukup mendatangi tetangga kita itu dan komplain dengan santunnya. Alasannya hanya satu: jangan sampai mereka menyakiti hati orang lain. Dan tatkala tetangga kita itu sedang sadar, dan meminta maaf, tidak ada ganjalan dalam hati orang tua kita untuk secara langsung memberinya maaf. Tindakan yang kadang mengesalkan anaknya - yang sok modern itu, apalagi setelah mengetahui alasan mereka: 'Apa susahnya sih memaafkan'.

Dan mungkin lebih mengherankan jika orang tua kita itu, meski setelah mendapat perlakuan begitu tidak enak, tetap saja dengan santai mengajak tetangganya itu untuk bergabung arisan, posyandu atau pengajian yang. Boleh jadi sebenarnya seratus persen akan ditolak.

Bukankah itu yang sering dilakukan orang tua kita dulu, atau orang tua sekarang yang dianggap tradisional, ndeso? Tahajud mereka mungkin masih bolong-bolong. Duha mereka mungkin dilakukan jika sempat. Mengaji dilakukan karena memang ada pengajian rutin. Yasinan tiap malam Jum-at hanyalah rutinitas, dan berzikir habis solat Maghrib bersambung ke Isya. Dan pengetahuan agama mereka mungkin masih dalam tahap belajar.

Namun coba kita rangkum yang mereka umumnya lakukan:


  • Lidahnya dan kelakuannya tidak menyakiti orang lain
  • Gampang memberi maaf kepada orang lain
  • Menyambungkan dan mengibarkan silaturahim kepada siapapun, di manapun berada


Hari itu, Idul Fitri, kembali saya menjadi seorang yang cengeng, menangis di sela khutbah Ied. Bukan menangis nostalgia, tetapi menangis mengetahui apa yang sebenarnya telah orang tua kita lakukan itu dengan apa yang diceritakan khatib. Khatib Ied kali itu berhasil membuatku terhenyak sadar meski dia membawakan topik yang sebenarnya sudah sering dibawakan khatib-khatib lainnya. Yaitu 'Tiga hari bersama ahli surga'.

Ringkasnya riwayat, sahabat Nabi ikut bermalam di rumah seorang lain yang tidak terduga - Fulan - yang dikatakan Nabi sebagai ahli surga. Bahkan perkataannya tentang dia yang akan menjadi ahli sorga itu berulang di tiga kejadian. Tiga hari berada di rumah Fulan, sahabat keheranan. Ibadah dan ritual Fulan ternyata biasa saja, bahkan tahajud dan duha pun belum mampu dia jalani. Di tengah keheranan itu, si Fulan berkata, bahwa meskipun 'amalan dia apalah yang kamu lihat', tapi segala sesuatu yang dia laukan dia tidak pernah berniat buruk dan menyakiti orang lain, serta dijauhkan dari dengki.

Aku tertegun. Fulan, sahabat nabi itu, digolongkan ke dalam ahli sorga - meski ritual ibadahnya tidak seperti ahli ibadah, namun memiliki hati yang bersih, tulus. Tapi, ya Allah, bukankah yang diajarkan orang tua kita dulu adalah seperti yang dilakukan Fulan - sahabat Nabi: kebersihan hati? Budi pekerti dalam bentuk tidak menyakiti orang lain dan mudah memaafkan? Ya Allah, mungkinkah mereka - orang tua kita sendiri sebenarnya tergolong ahli sorga? Mereka bukan ustadz-ustadzah, mereka bukan hafidz penghapal Al Qur'an, mereka bukan ahli ibadah yang tahu ilmu agama sampai ke detail. Mereka orang biasa, yang terkadang masih belum mampu konsisten bertahajud. Tapi, mereka selalu mengajarkan kebersihan hati ya Allah. Mungkinkah mereka itu juga ahli sorga? Ya Ilahi, bolehkah kuberdoa agar orangtua kita digolongkan ke dalam ahli sorga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun