Mohon tunggu...
Rifki Feriandi
Rifki Feriandi Mohon Tunggu... Relawan - Open minded, easy going,

telat daki.... telat jalan-jalan.... tapi enjoy the life sajah...

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

"Memeras 100 Juta, Polisi Dihukum Bui 21 Hari," Antara Khilaf dan Absennya Efek Jera

8 April 2011   11:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:00 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya cukup kaget membaca sebuah artikel di Koran Tempo hari ini - halaman C3 tentang hukuman terhadap polisi: "Mereka dinyatakan bersalah telah meminta uang Rp 100 juta kepada keluarga korban penangkapan kasus narkoba". "Pemimpin sidang pelanggaran disiplin mengatakan tindakan kelima polisi itu dianggap khilaf". Perasaan saya campur aduk. Bagaimana tidak? Apa betul pemerasan (istilah dari headline artikel itu sendiri) seratus juta rupiah dikategorikan tindakan khilaf? Dari artikata.com dan kamus besar online dari pusat bahasa, kita bisa melihat jika khilaf berarti: kekeliruan, kesalahan yang tidak disengaja. Sementara memeras artinya: "meminta uang dsb dengan ancaman". Kaidah bahasa menjelaskan bahwa "meminta" adalah aktifitas yang dilakukan secara sengaja. Jadi memeras adalah aktifitas yang dilakukan secara sengaja dan dengan ancaman. Bukankah itu kontradiktif dengan "tidak disengaja"? Entahlah apakah kasus seperti ini membutuhkan seorang pakar bahasa sekelas Prof Yus Badudu. Kita tinggalkan segi bahasa, Sekarang coba kita lihat dari sisi korban pemerasan. Apa yang mungkin dilakukan korban pemerasan? Menolak. Itu jika bisa. Atau memenuhinya dengan berusaha mencari uang sebesar itu. Uang sebesar itu didapat dari mana? Kuras semua tabungan. Jual semua kekayaan. Pinjam sana, pinjam sini, termasuk dari rentenir (itu loh yang meminjamkan uang dengan bunga mencekik, bahkan menjadi dua kali lipat). Atau jika segala cara tidak ada hasilnya, kriminalitas lain pun akan lahir: sebuah pemerasan lain, atau penodongan, atau pencurian atau bahkan mungkin penghilangan nyawa. Dan itu berarti melakukan tindakan pemiskinan terhadap korban, penyebarluasan kejahatan dan penyemaian kebencian. Dan secara sederhana itu berarti bahwa pemerasan akan berujung kepada kejahatan. Bisakah itu disebut kehilafan? Bukankah itu lebih tepat disebut kelalaian? Atau bahkan perbuatan terencana? Kembali, seorang Prof Yus Badudu mungkin dibutuhkan untuk memutuskan hal itu. Bagi masyarakat awam seperti saya ini, apa yang terjadi adalah sebuah ketidakadilan yang kentara dan sangat kontra produktif dengan usaha kepolisian untuk menegakkan citranya. Di tengah usaha memperlihatkan sosok manusiawi seorang polisi - dalam bentuk merangkul Briptu "Chaiyyachaiyya" Norman yang kreatif, berita di atas langsung memupus usaha keras itu dan stigma negatif polisi yang sedang berusaha dihapus menjadi tertahan. Apalagi jika berita itu disandingkan dengan usaha keras memberantas korupsi dan narkoba, sepertinya akan nyata terlihat ketimpangan niat, usaha dari institusi-institusi terkait - walaupun jelasnya image itu tercemar karena ulah oknum saja. Di sinilah saya pikir dibutuhkan sebuah ketegasan penegakan aturan dari atasan, sehingga tercipta efek jera bagi mereka - oknum yang melakukan kesalahan. Memang benar bahwa yang telah dilakukan - menghukum 21 hari - adalah dari sisi penegakan disiplin, sedangkan dari segi pidana adalah lain lagi (meskipun di halaman yang sama, Dosen Ilmu Kelpolisian, Bambang Widodo Umar, menilai "ini keliru, karena sudah masuk ranah pidana"). Namun dengan melihat apa yang disebabkan oleh tindakan memeras itu adalah akan terciptanya kejahatan lain, selayaknya pihak atasan memberikan hukuman yang keras yang menciptakan efek jera bukan hanya bagi pelaku, namun juga bagi angota korps yang lainnya. Jika terjadi hukuman yang lemah, sebagian masyarakat awam mungkin akan berkomentar "oh, enak banget, dapet duit seratus juta cuman dihukum 21 hari". Dan bisa jadi, di kemudian hari oknum-oknum berpikiran jelek akan melakukan tindakan serupa, karena "toh cuman dihukum 21 hari". Di sisi ini rasanya kita sebagai masyarakat mengharapkan penjelasan dari institusi, apakah memang benar pemerasan itu bisa dikategorikan sebuah kekhilafan. Dan juga penjelasan apakah memang hukumannya seperti itu. Bisa juga dilakukan sebuah dialog konstruktif dari mereka cerdik pandai sehingga niat tulus institusi polisi dalam menegakkan peraturan dan citra diri tidak ternodai oleh langkah-langkah kontraproduktif dari oknum-oknum dari dalam diri sendiri. Pak Kapolri dan Pak Kapolda. Saya yakin, semua masyarakat pasti akan mendukung Bapak dalam menegakkan citra institusi polisi yang baik. Jadi, jangan ragu Pak, tegakkan aturan internal Pak. Ketegasan kepolisian akan berbuah citra polisi yang bagus. Citra polisi yang bagus akan mendapatkan dukungan yang lebih besar dari rakyat, sehingga kerja polisi sebagai professional akan mudah terwujud. Sebuah pekerjaan rumah yang enteng-enteng susah kayaknya Pak. Selamat bekerja!!! Cag, 8 April 2011 Ada dua buah petikan:

Tulisan sebelumnya: the power of book artikel, emang kompasiana punya admin, andaikan pak gubernur dki adalah kompasianer

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun