Foto itu menjadi viral. Fotonya sederhana, hanya memperlihatkan tumpukan sepatu-sepatu baru di sudut sebuah ruangan yang agak kotor. Sepatu-sepatunya pun terlihat menjadi kotor.
Foto itu menjadi viral, karena komentar-komentarnya yang heboh. “Gak tahu diri, sudah disumbang, dicuekin”. Ada juga komentar kasar “Dasar bang####t!”. Juga yang menjurus SARA “Emang suku ##### sifatnya begitu”.
Komentar-komentar itu lalu dikomentari juga dengan pedasnya, dikupas dengan berbagai dalil yang notabene adalah pendapat pribadi masing-masing. Ada beberapa pengkomentar yang mencoba berpikir berbeda dengan mengajak memahami apa yang terjadi. Tapi, yang muncul adalah debat dan caci maki.
Dan satu pengunjung berujar pendek: “kok jadi begini”. Sepi. Tidak ada yang mengomentari.
#*#*#*#*#
Foto sebelumnya menjadi viral, karena auranya. Kebahagiaan berbagi. Fotonya standar, sedikit resmi, memperlihatkan serah terima simbolis sepasang sepatu dari seorang perempuan muda, didampingi cowok muda dibelakangnya, kepada seorang agak tua dengan wajah khas warga pedalaman. Foto itu dilatari langit biru cerah dengan hijau rerumputan. Tidak lupa beberapa anak sekolah bercelana merah terlihat di sana, dengan ekspresi wajah yang sedikit sukar ditebak. Apakah sebahagia mereka yang berbagi?
Foto itu menjadi viral, dengan taburan do’a-do’a kebaikan dan terimakasih. “Makasih ya sudah menjalankan amanah”. “Keren kakak”. “Semoga banyak yang meniru langkahnya”. “Amin”
Dan satu pengunjung berujar pendek: “mereka gak butuh itu”. Ramai. Berpuluh yang mengomentari dan lalu menghujat. Dia yang berujar pendek memutuskan tidak menjawab hujatan itu.
#*#*#*#*#
Foto sebelumnya lagi menjadi viral, karena isinya. Bagus, ajakan kebajikan. Foto itu adalah foto penggalangan dana. Dengan deskripsi ajakan, nomor rekening dan nama. Tidak lupa sebuah foto yang menarik: anak kecil dengan baju putih celana merah dengan wajah yang cerah ceria berlatar pemandangan hijau dan langit biru, namun.....kakinya telanjang, tanpa sepatu, terbenam dalam tanah basah.
Foto itu menjadi viral, karena berisi ajakan untuk berbagi, membantu sesama. Penggalangan dana untuk membeli sepatu untuk anak-anak di desa tertinggal itu. Ajakan yang menggugah rasa sosial dalam relung jiwa-jiwa yang sedang “rakus” akan kebaikan. Rasa yang tergugah tercermin dari komentar-komentar dukungan. “Saya ikut urunan ya”. “Keren inisiatifnya. Teruskan. Saya dukung”. Adem. Namun, ada juga komentar yang sedikit berbeda. “Apa memang mereka membutuhkan sepatu? Tolong dicek dahulu”. Sayangnya, pendapat itu lalu dikomentari dengan pedas sebagai pendapat yang tidak punya empati kepada sesama. Muncul berbagai pendapat pribadi dengan menukil dalil kebenaran pendapatnya. Ada beberapa yang keluar jalur dengan komentar sedikit nyinyir.