“Dulu saya kerja mijat, Mas. Tapi sekarang sudah jarang ada yang mau dipijat lagi. Jadi saja saya jualan kerupuk”.
Itulah alasan Mas Ihsan, nama sebenarnya, untuk memberanikan diri berjalan kaki sepanjang lebih kurang lima kilometer dari rumahnya di kawasan Ciputat menuju pertokoan di Pamulang. Jarak yang cukup pendek sepertinya. Tapi bayangkanlah jika kita yang berjalan itu, meniti langkah demi langkah, satu-satu, tanpa pemandu, dan hanya ditemani sebuah tongkat. Dan bayangkan pula kita berjalan itu dengan mata tertutup. Akan amat sangat sulit, apalagi jika berjalan bukan di trotoar, namun di pinggir badan jalan. Berbahaya.
Namun itulah yang sekarang dilakukan oleh Mas Ihsan untuk menyambung hidup, dan memberi nafkah anak istrinya. Berjalan dalam kegelapan meski dalam terik mentari jam sepuluh pagi, dengan dikalungi plastik besar di belakang dan depan badannya. Plastik di depan ditempeli karton dengan judul “Jual Kerupuk”, dengan huruf besar-besar. Di dalamnya berisi plastik keresek hitam-hitam untuk membungkus kerupuk. Plastik di belakangnya berisi tiga puluh bungkus kerupuk berisi empat lima buah kerupuk Palembang, seharga lima ribu saja per bungkus. Dan dia berjalan terus sampai saat dijumpai berjalan pulang jam delapan malam. Juga berjalan kaki, karena “Jika masih ada sisa, saya tidak pernah naik angkot”.
Apakah Mas Ihsan mereguk untung banyak? Apalah yang bisa didapat dari jualan seperti itu. Itu mungkin yang ada di benak kita. Namun lihatlah usaha gigih dia dalam berusaha. Lahan kerjanya sebagai pemijat mungkin sekarang sudah disabet korporasi pijat profesional. Sementara lahan kerja yang lain tidak ada – bahkan yang tidak mengandalkan penglihatan seperti operator telepon saja menjadi rebutan lulusan SMA. Maka berdaganglah salah satu lahan kerja halal lainnya. Dan itu juga yang dilakukan beberapa tuna netra lainnya. Perkara mereka yang membeli hanya karena belas kasihan, itu di luar otoritas dia sebagai penjual dan tuna netra. Yang dia lakukan adalah berusaha, sebagai suami dan orang tua yang bisa dibanggakan keluarga – Alhamdulillah dia dikarunia anak dan istri yang melihat, sebagai kepala rumah tangga yang bertanggung jawab.
Saat itu, jam delapan malam, saat saya menjadi pembeli dua bungkus kerupuk terakhirnya, dan berkesempatan membantu dia memberhentikan angkot yang akan membawanya ke Ciputat. Saat sebelum naik itulah Ihsan menjawab pertanyaan terakhir saya: “Alhamdulillah Mas, selama ini tidak pernah ada yang menipu, dan memberi uang kurang”. Dan berlalulah Mas Ilham meninggalkan saya yang kembali memetik hikmah kehidupan dari mereka yang dilupakan.
Semoga Mas Ihsan mendapatkan keihsanan seorang manusia.
Cag, 9 Mei 2011
Wahai saudaraku, anggota Komisi Delapan. Bukankah mereka-mereka seperti Ihsan ini yang menjadi target pembelaanmu? Bolehkah saya analogikan satu milyar saja biaya kunjungan kerjamu sama dengan memberi modal 6666 orang yang berusaha seperti Mas Ihsan. Usaha yang halal tetapi bertanggung jawab. Itu hanya dari satu milyar saja, Pak. Jadi, tolonglah pergunakanlah nuranimu saudaraku, jika saudara menghabiskan lebih dari 800 juta atau milyaran rupiah untuk semua kunjungan kerja semua wakil rakyat terhormat, sementara pulang tidak membawa apa-apa (karena mereka yang akan dikunjungi sedang libur-reses atau sibuk dan tidak punya janji), bukankah hal itu justru mengabaikan peluang memperbaiki ribuan orang miskin dan terlantar yang sebenarnya bisa terselamatkan setiap harinya?
bu-minah-dan-refleksi-kasih-ibu-tak-berujung/ assalamualaikum-yang-ini-yang-paling-indonesia/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H