Pemuda itu lalu membuka pintu. Dengan senyum khas dari bibirnya yang berkumis, meski dengan roman kaget, dia lalu besimpuh. Tangannya mengatup, membentuk sembah.
'Wilujeng sumping Ratuku. Selamat datang di gubuk reotku. Kaget temen kedatangan Pangersa Dalem. Sembah surprise ke hadapan Pangea', suaranya lebih berwibawa dibandingkan suara pria dari kaset lagu nostalgia yang sedang diputar.
Perempuan itu tetap berdiri. Wajahnya putih, jauh lebih putih dibanding Puteri Solo. Kulitnya berkilau, cukup membuat silau. Kerudung putih yang dipakainya mengikikat erat kepalanya. Kerudung model head-fit. Bibirnya kemudian tersenyum, atau menyeringai. Gigi putihnya juga berkilau.
'Alah Yayi... Please deh pake sembah-sembah segala', ucapnya merdu, sambil terus berjalan masuk. Udara sejuk khas pesisir Barat Jawa menyelinap di ruangan beraksen bambu.
Kali ini dua orang berdiri cukup berdampingan di belakang Ratu. Satu pemuda itu yang dipanggil Yayi, dan satunya lagi sosok pria beranjak tua dengan ikat di kepala, dan dandanan hitam- hitam. Jawara. Jawara yang terlihat elegan, tanpa kaca mata hitam dan tanpa kumis baplang. Pria ini pun tidak berhenti menyunggingkan senyum.
Mereka semua duduk di kursi rotan.
Ratu: 'Yayi. Di ujung bulan baik ini, saya ingin besilaturahim...juga mohon maaf'
Yayi: 'Wow' - dua tangannya menempel di bibirnya. Jari jari tangannya lalu digigitnya.
Ratu: 'Maaf saya tidak memberikan wewenang semestinya kepada sampeyan sebagai Adipati di karesidenan ini'
Yayi: 'OMG'
Ratu: 'Jadi, dengan silaturahim ini, dan besok Idul Fitri, saya akan melimpahkan wewenang itu kepada sampeyan'