Dalam hitungan menit, penantian itu akan menjelma menjadi sebuah keputusan yang lebih jelas. Apakah Komodo masuk menjadi tujuh keajaiban dunia baru atau tidak?
Bukan berarti saya tidak patriotik, tetapi kok tidak ada rasa tegang menantikan pengumuman itu. Padahal rasa tegang itu biasanya merupakan cermin sebuah dukungan penuh yang takut gagal.
Selidik punya selidik, ada beberapa kemungkinan mengapa hal itu terjadi:
1. Polemik antara Dubes RI di Swiss dengan penyelenggara, lengkap dengan berita tentang 'bonafiditas' penyelenggara, ternyata berdampak cukup besar menurunkan minat saya untuk ikut hiruk pikuk dukung mendukung. Kehadiran JK di antara pendukung kuat pun tidak bisa menambah amunisi saya dan membangkitkan lagi gairah.
2. Keraguan tentang penyelenggara sebenarnya sudah muncul jauh-jauh hari sebelum Komodo ramai digadang-gadang. Sepintas sekitar empat tahun lalu, saya pernah membaca bahwa The New Seven Wonder of the world akan diumumkan tanggal tujuh juli dua ribu tujuh. Hal itu menyesuaikan dengan numerologi angka tujuh. Seven wonder diumumkan 7-7-7. Tapi entah saya yang tidak terlalu memperhatikan atau karema penyelenggaraan yang tidak bergaung, akhirnynya saya pun kebingungan dengan adanya pengumuman 11-11-11. Apa boleh jadii 7-7-7 sudah diumumkan N7W untuk satu bagian dan sekarang N7W lainnya.
3. Â Penentuan pemenang - eh nominasi, melalui voting sms malah lebih mengurangi minat saya untuk berpartisipasi. Kenapa? Sederhana saja, saya termasuk orang yang tidak begitu percaya dengan voting-voting begituan, yang mirip dengan penentuan pemenang Idol-Idolan. Otak sederhana saya berkata 'ah, yang kayak gini mah bisa diakal-akalin, beli aja voting ribuan atau jutaan oleh seorang miliuner Indonesia, langsung deh menang'. Dan otak cetek saya juga mendukung tesis itu dengan berkata 'tuh, Idol anu yang performance bagus dan hebat akhirnya angkat koper karena kurang voting sms'. Kemungkinan akan berbeda jika voting yang dilakukan bisa lebih jelas 'berkualitas' seperti satu orang satu vote atau lewat nominasi dari para ahli sedunia. (Itu di luar masalah sedot pulsa loh).
4. Menyimak komentar-komentar di sebuah postingan, ada satu hal yang kena bagiku. Jika sudah masuk tujuh besar 'So what?'. Adakah hasil atau outcome nyata yang akan terjadi? Saya merenung sejenak. Lalu terbayang sebuah mahakarya luhur asli Indonesia - Borobudur. Banyak orang - termasuk bule - yang berasumsi bahwa Borobudur termasuk tujuh keajaiban dunia. Borobudur menjadi terkenal. Banyak wisatawan datang. Tapi kemudian sinarnya pudar, seiring perawatan yang kurang, penatalaksanaan yang - entahlah, atau 'propaganda' iklan atau 'advertisement' yang sangat minimalis. Padahal Borobudur sudah dikenal orang. Bahkan banyak buku ilmiah populer berbahasa Inggris yang terbit dan secara tidak langsung dan gratis mengiklankan keindahannya. Namun, kenyataan memperlihatkan realitas sebenarnya.
Itu baru Borobudur. Bagaimana dengan kekayaan flora dan fauna serta hutan hujannya, yang dinobatkan sebagai paru-paru dunia?
Tapi, saya ini kan orang Indonesia. Masa sih tidak mendukung sesuatu yang membuat nama negara harum?
Ingin sebenarnya saya menjawab 'mengharumkan negara itu banyak caranya. Â Jadi TKI yang bercerita keindahan daerah asalnya saja sudah membuat harum negara. Â Sebaliknya, Â korupsi yang beranak pinak dan tidak ada perubahan akan menggerus segala kebanggaan itu seperti api melumat sekam'.
Tapi, sekali lagi, saya ingin ikut bangga dong berpartisipasi dan bangga sebagai bangsa Indonesia, bersama dengan penduduk lainnya?