Â
Dalam sebuah diskusi sewaktu penulis bertugas di Brisbane, ada suatu topik yang menarik. Topik itu membahas tentang kebiasaan apa yang sangat terpengaruh oleh hasil teknologi. Ketika itu rekan-rekan Australia menjawab 'apa jadinya jika tidak ada toilet paper (tisu toilet)'. Penulis sedikit terkejut namun tersenyum dalam hati. Jika mereka - para bule - merasa bagaimana gitu jika mereka tidak memiliki tisu untuk cebok, sebaliknya bagi penulis yang asli Indonesia justru awalnya bingung memakai tisu.
 Cebok tanpa air adalah bukan cebok, meski orang lain berpikir itu menjijikkan. Saat itu penulis membahasnya dalam diskusi itu. Beruntung, diskusi berjalan dengan kepala segar, sehingga mereka yang justru kaget dengan kebiasaan penulis pun menerima perbedaan - yang amat sangat berbeda sekali - itu sebagai sebuah hal yang begitu menarik.
Jika kejadian yang berlangsung lebih dari sepuluh tahun itu dibawa ke masa kini, era media sosial dengan segala bentuk kebebasan kebablasan tanpa tanggung jawab, bisa jadi perbedaan itu bisa digosok mereka yang 'usil' dan lalu memantik perdebatan seru dengan tema yang bergeser 'kenapa elo begitu, gua kan begini, elo harusnya begini, elo salah, gue bener'. Perdebatan yang lalu bisa menjadi perseteruan dua kubu yang berhadapan, karena tanpa diminta - dengan fasilitas 'share' - dukungan terhadap satu pihak dan pihak lain akan mengalir bak air bah. Dan jika ini terjadi, boleh jadi saya atau rekan saya sebagai pemilik isu awal pun geleng-geleng, tidak menyangka apa yang terjadi, dan lalu mundur. Tinggallah pendukung di dua sisi yang berbeda timpul-timpukkan.
Bukankah itu yang terjadi sekarang di Kompasiana? Sebuah tulisan tentang kurban lalu dikomentari secara 'usil' oleh mereka yang mendapati bahwa kurban itu bukan 'kebiasaan'nya, dan 'mempertanyakan' kebiasaan itu. 'Keusilan' itu rasanya tidak perlu dan kontra produktif, karena pada saat yang sama, mereka yang berada pada sisi yang berbeda bisa dengan gampang menyambar hal ini dengan balas 'mengusili' kebiasaannya yang mirip - seperti contoh 'pembantaian ayam di rumah makan internasional' dll.Â
Satu 'keusilan' menelurkan 'keusilan' lain yang terkadang melebar tidak karuan. Bagi penulis, ini sangat kontraproduktif dengan usaha-usaha kekinian merawat kerukunan dalam derasnya tulisan-tulisan mengenai kerukunan yang terkait lomba penulisan kerukunan umat beragama. Menyedihkan.
Padahal, jika kita mau sedikit meluangkan waktu, Pepih Nugraha - pendiri Kompasiana, pernah menuliskan salah satu resep netiket dalam buku kuningnya 'Citizen Journalism': Jangan Usil soal Kebiasaan Orang Lain', . Di halaman 126-127 dalam pembahasan itu, 'Kang Pepih memberi contoh kisah dua kebiasaan berbeda yang menarik perhatian Darius, Raja Persia. Dua kebiasaan berbeda itu adalah ketika orang meninggal dimana orang Yunani membakar jenasahnya sementara orang Callatia memakan jenasah orangtuanya.Â
Ketika Raja Darius menceritakan kebiasaan orang Callatia terhadap orang meninggal kepada orang Yunani, mereka terkejut luar biasa dan berkata jika mereka toidak pernah akan melakukannya. Demikian pula sebaliknya, ketika kebiasaan orang Yunani diceriakan kepada orang Callatia, orang callatia menunjukkan ekspresi ngeri. Kebudayaan yang berbeda mempunyai kode moral yang berbeda pula.
Lalu bagaimana jika seseorang memiliki dasar kuat dalam mengemukakan pendapatnya itu?
Di sinilah perlunya 7S seperti dikupas di artikel ini Â