Mohon tunggu...
Rifki Feriandi
Rifki Feriandi Mohon Tunggu... Relawan - Open minded, easy going,

telat daki.... telat jalan-jalan.... tapi enjoy the life sajah...

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Agus Marto Saja Bisa, Kenapa yang Lain Tidak?

9 Februari 2011   11:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:45 1200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12972687411349836730

Saya ingin mengangkat suatu berita menyangkut ketegasan dan keberanian Menkeu Pak Agus Martowardoyo (hampir kepeleset nyebut Martowijoyo) ketika berhadapan dengan anggota DPR seperti yang saya baca dari laman vivanews. Beliau saat itu menginterupsi perkataan atau pertanyaan anggota komisi yang bertele-tele, berputar-putar. Beliau juga menegur anggota DPR yang bertanya tanpa mengangkat tangan. Agus juga menjelaskan tindakan mengangkat kertas saat menyampaikan interupsi dalam rapat dilakukan untuk mengimbangi sikap anggota DPR. "Kalo mitra kerja tuh angkat-angkat. Saya juga harus angkat-angkat untuk menunjukkan saya juga bisa angkat-angkat agar bisa menjelaskan," ujarnya. Dan saya kutipkan satu lagi: "Kami ingin ikut dan tunduk pada tata tertib sidang DPR. Pertanyaan bisa dijaga rata-rata dalam 3 menit. Tapi jika bapak mengizinkan tata tertib untuk dilanggar, terserah bapak. Kami ingin waktu kami juga bisa digunakan untuk menyelesaikan tugas lain," kata Pak Agus kepada pimpinan sidang Emir Moeis. Suatu langkah yang wajar-wajar saja, namun sangat bermakna pada saat sekarang dimana legislative sedang senang-senangnya menunjukan dominasinya dengan banyak mengabaikan sopan-santun dan adab berkomunikasi. Hal itu juga diperparah dengan sikap para pejabat pemerintah yang diundang yang dengan "sabar" didominasi oleh mereka, padahal saya mengerti bahwa beberapa dari mereka masih paham arti dari adab berkomunikasi. Bisa dibayangkan bagaimana dua orang Pak Bibit dan Pak Chandra yang "dilecehkan" ketika rapat, padahal KPK sendiri secara institusi diundang. Bukankah itu bak kita mengundang tetangga, dan kemudian setelah tetangga itu datang kemudian kita usir. Bukankah itu sangat tidak sopan sekali. Rude istilah nginggrisnya. Lalu kenapa tidak banyak pejabat yang berlaku seperti Pak Agus: mendudukan diri sama tinggi, sederajat. Jika anggota dewan bisa menginterupsi, lalu boleh dong mereka juga menginterupsi - secara wajar. Jika dewan bisa menegur pejabat yang berbelit-belit, boleh juga dong mereka menegur dewan yang ruwet. Wajar saja, simple saja lah. Bahkan, pernyataan Pak Agus patut diacungin jempol, jika kedatangan mereka memakan waktu pelayanan Negara. Bayangkan pejabat negara yang dibayar oleh duit rakyat dengan waktu yang mahal, waktunya setengah hari dihabiskan duduk di depan para anggota dewan yang terhormat hanya untuk menyaksikan debat kusir penuh emosi di antara anggota dewan itu sendiri. Dan kemudian diskors. Lalu disuruh datang lagi keesokan harinya, untuk menjalani waktu lebih lama lagi bengong sebelum diputuskan mengusir mereka yang diundang. Logis jika pimpinan KPK saat itu, atau siapalah yang diundang dewan harusnya berkata Kami ingin waktu kami juga bisa digunakan untuk menyelesaikan tugas lain. Yang juga menarik dari berita itu adalah ketika Pak Agus membela pengunjung yang bertepuk tangan karena komentarnya dan kemudian ditegur anggota dewan, dengan mengatakan, "Bapak jangan cepat marah pada yang di atas (pengunjung di balkon). Biar disayang konstituen," katanya. Santai, wajar dan lucu. Mudah-mudahan sikap demikian itu dipunyai semua kalangan, baik anggota dewan dan pejabat pemerintah. Santunlah dalm berkomunikasi. Sudahlah jangan mengumbar emosi. Cukuplah itu di sinetron saja. Kasihan nanti tenggorokannya serak - nanti tidak bisa mengimbangi SBY bernyanyi loh. Kasihan juga nanti matanya pegal karena melotot - nanti tidak bisa melihat bola golf loh. Teduh lah, biar semua terselesaikan secara wajar. Janganlah waktu dihamburkan begitu enaknya untuk hal-hal yang bisa diselesaikan dengan rembukan yang baik-baik. Bukankah semuanya juga seorang Pancasilais, yang mengerti arti kata "musyawarah dalam mufakat". Janganlah mengumbar danmempertontonkan keangkuhan, kearoganan yang rakyat terjemahkan sebagai sebuah kebodohan. Bukankah hal bodoh jika "meributkan atau merumitkan seseuatu yang sederhana". Jadi teringat lagi akan pelajaran etika nih. Cag ah, 9 February 2011

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun