Penghujung tahun. 2022.
Ah, ingin sekedar ku bercermin apa yang terjadi pada masa yang telah kulalui. Beberapa waktu terlewat. Yang kutinggalkan menjadi sebuah sejarah. Yang tidak mungkin kujejaki lagi. Yang hanya bisa kupungut menjadi sebuah refleksi.
Pandemi. Tahun-tahun penuh kekhawatiran. Ketidakmenentuan. Keterpaksaan menjadi ketidakberdayaan. Dan kehilangan. Tapi terasa. Kurasa. Kehadiran dan perhatian Dia Sang Pencipta.
Bagaimana tidak?
Bukankah Indonesia terlepas dari lubang jarum keterpurukan itu atas kasihNya? Bukankah moral bahu membahu, bangkit dukung mendukung bangsa ini juga digerakkan atas rahmatNya?
Dan bagiku?
Duh, kasih sayangNya begitu kentara. Diberi sehat, covid terlewat. Entahlah. Allah berkuasa menghindarkan diriku positif terkena. Mungkin Dia memperpanjang umurku karena aku berlumur dosa. Dia mengasihiku dengan memberi waktu untuk bertaubat nasuha.
Dan ketika diberinya kesehatan dan kebugaran yang seakan sempurna
Ternyata membuat perilakuku berbeda tipis antara euforia dan jumawa
Dan kembali Dia menjukkan kuasa sebagai Pencipta
Ku diberi secuil cedera. Sedikit saja.
Inginnya sih akutu menyerah. Menyesali diri. Mengerangi rasa sakit. Mengutuki enam bulan mati gaya. Sebagai waktu yang sia-sia. Tapi kupilih pasrah. Menikmati hari-hari yang selalu saja ada hal yang membaik. Meski bisa jadi sama saja atau memburuk. Tapi memang kuniatkan. Aku sembuh. Tiap hari membaik. Selalu membaik. Bukankah memburuk dan membaik adalah relatif. Memburuk di sini, dicarilah membaik di sana. Dan bukankah itulah salah satu cara kita sebagai manusia belajar ilmu yang sangat sulit. Sukar. Ilmu ikhlas. Ilmu sabar. Ilmu pasrah. Ilmu nrimo.
Allah itu Maha Rahman. Maha Rahim.
Mau tidak mau kupercaya. Tidak bisa tidak kumerasa. Sakit adalah anugerah. Sakit adalah masa kita sebagai makhluk sedang diperhatikan Tuhannya. Kita sedang disayangiNya. Dengan cara yang tidak terduga. Bisa jadi dengan cara membelokkan takdir. Karena bukankah Dia Maha Kuasa.