Apa jadinya jika sebuah buku yang baru terbit, dua tiga bulan kemudian sudah cetak ulang. Apakah bisa disebut buku Best Seller? Dan bagaimana bisa jika buku itu adalah sebuah memoar. Mirip biografi. Kok bisa ya cetak ulang?
Itulah yang terjadi pada buku berjudul "Statistic of Dreams". Sebuah memoar dari Prof Juhaeri Muchtar. Seorang epidemiolog, Vice President sebuah perusahaan farmasi besar dunia dan seorang adjunct Professor. Dan di acara Ngabuburit bersama Gramedia melalui zoom bertajuk Proses Kreatif Penulisan Seorang Epidemiolog, Sabtu 1 Mei 2021, Pukul 15.00 WIB saya menjadi tahu perjalanan kepenulisan Ketika menulis menjadi sebuah katarsis
Ketika menulis menjadi katarsis
Di awal acara, Prof Juhaeri menjelaskan jika menulis sudah menjadi hobinya. Dari kecil beliau ingin menjadi penulis. Dan hobinya itu kemudian terbawa sampai dewasa dan bekerja sebagai epidemiolog (ahli epidemi).Â
Sampai saat ini, Prof Juhaeri sudah menelurkan publikasi teknis sebanyak lebih dari 170 buah. Dia tekankan bahwa publikasi teknis tersebut bukanlah dibuat untuk kenaikan pangkat, melainkan karena dia melihat itu sebagai sebuah kebutuhan.
Namun, dalam sebuah proses kreatif tentunya ada sebuah titik yang menjadi pemantik seseorang untuk memulai langkah. Dan bagi Prof Juhaeri, itu terjadi ketika dia sedang menyaksikan penampilan anaknya dalam konser Mama Mia. Puterinya, Bella, saat itu menjadi pemeran utama. Dan saat Bella kemudian berhasil menyanyikan lagu "Winner Takes All" yang banyak dibilang sebagai lagu sulit, dan Bella mendapatkan standing ovation, sekonyong-konyong esuatu terjadi pada Prof Juhaeri.Â
Di tengah rasa bangga yang meledak, dia tiba-tiba lemas. Lemas, karena yang ada dalam perasaannya saat itu adalah "Jika saja kakek dan neneknya bisa hadir, tentunya mereka akan sangat berbahagia".Â
Lalu, memori masa lalu muncul berkelebatan. Ketidakhadiran (atau kehilangan) ayah ibunya, kakek dan nenek Bella, menjadi sebuah puncak kesedihan dari seluruh perjalanan hidupnya. Yang karenanya, hidupnya saat itu merasa gelap. "Falling into bottomless end", begitu istilah yang dipakai. Saking sedihnya, selama seminggu penuh dia tidak bisa apa-apa. Sedihnya begitu mendalam. Sampai terasa sesak dan sulit bernafas.
Prof Juhaeri lalu mulai mencoba menulis. Menuliskan apa yang dirasakannya. Perjalanan hidupnya. Yang begitu berwarna. Dan ternyata itu cukup membantu perasaannya. Dia merasa lega. Sesak dan sulit bernapasnya jauh berkurang dan lalu menghilang. Dia proses itu lalu mengalir, bak sungai kena air bah. Ya mengalir, tidak bisa direm. Menulis dan menulis. Sampai kaget dia dibuatnya: seminggu menulis sampai 100 halaman dengan spasi tunggal. Ternyata bagi dia, menulis adalah sebuah katarsis. Melapangkan jiwa dan hati.