Mohon tunggu...
Rifki Feriandi
Rifki Feriandi Mohon Tunggu... Relawan - Open minded, easy going,

telat daki.... telat jalan-jalan.... tapi enjoy the life sajah...

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Diet Kantong Plastik (Sementara Ini) Berhasil (edisi AADC)

28 April 2016   09:37 Diperbarui: 28 April 2016   10:05 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

AADC | Foto: twitter.com

"Lihat tanda-tanda itu. Jurang antara kebodohan dan keinginanku,

memilikimu sekali lagi...”

Sepertinya polemik atau debat kantong kresek 200 rupiah sebagai sebuah bentuk kezaliman penguasa sudah mulai meredup. Sekarang, mari kita coba sedikit lakukan pengamatan amatir tentang diet kantong plastik ini. Apakah 'pemaksaan' beli kantong kresek 200 rupiah ini efektif mengurangi penggunaan plastik?

Mari kita coba melakukan pengamatan amatir saat pagi selalu menawarkan cerita yang baru...di supermarket. Untuk semua pertanyaan yang belum terjawab itu.

Ada Aqua?

Ketika Cinta menerima kenyataan bahwa yang ditegurnya bukan Rangga, begitulah juga kenyataan ketika seorang konsumen “ditegur” sang kasir pria atau wanita: “mau pakai kantong plastik?”. Jika Cinta menjawab “Ada Aqua?”, maka si konsumen berkata “Ada dus Aqua?”

Kardus, bekas Aqua atau bukan, sekarang cukup sering disebut konsumen. Sebelum kebijakan diet plastik dilakukan, konsumen yang meminta barangnya dimasukan ke kardus sangatlah sedikit. Hanya mereka yang sedang menerapkan perilaku hidup yang hijau yang biasanya melakukannya. Bisa jadi pemakaian kardus sebagai pengganti plastik agak tidak praktis. Ya, karena kardus harus 'digendong', bukan ditenteng. Belum lagi kenyataan meminta kardus akan “mengkorupsi” waktu kasir di depan mesin hitung, karena harus mengambil kardus yang biasanya tidak tersedia di konter. Belum lagi waktu tambahan memplester kardusnya. Ini juga belum mempertimbangkan efek psikologis lainnya: cemberutnya atau berdecak kesalnya konsumen di belakang kita.

Tetapi sebuah angka yang sejatinya sangat kecil - 200 rupiah - ampuh mengubah hal itu.  Beberapa konsumen langsung menjawab 'pake kardus aja mbak'. Jadilah si mbak kasir cukup pontang-panting mengambil kardus. Tidak apa-apalah. Itulah usaha yang harus dibayar untuk harga itu kan?

Bila emosi mengalahkan logika, bener 'kan banyakan ruginya

Ealah. Entahlah Cinta ataukah Rangga yang suka emosian, tapi dua jenis makhluk itu juga yang terkadang emosian di supermarket. Kala sang kasir berkata secara manis “kalo pakai kantong plastik bayar 200”, baik konsumen pria atau wanita ada saja yang naek emosinya. Ada apa dengan mereka?

“Sudah, ditenteng saja”, begitu katanya.

Jadilah tangan kanan membawa detergen tangan kiri minyak goreng. Ditambah ketiaknya juga menjepit sekotak susu bubuk, eh ketiak kirinya kotak cereal. Ternyata dua tangan itu pun berubah menjadi nampan buat belanjaan lainnya. Dan ketika satu dua buah belanjaan itu jatuh....celakalah dunia. Bener ‘kan banyak ruginya. Minimal malu, gitu.

BASI!!!

Kata-kata Cinta ketika madingnya siap terbit akan menohok dikatakan bagi konsumen yang tidak mau pakai kantong kresek dengan alasan menolak membayar dua ratus perak...padahal belanjaannya hanya satu dua buah barang kecil. “Basi” karena tanpa dimintai dua ratus perak pun harusnya konsumen sudah menolak kantong kresek jika bawaanya seuprit begitu.

Tapi....meski basi, kita harus apresiasi dong. Apresiasi yang besar sekali

Ini namanya mengorbankan kepentingan pribadi demi sesuatu yang prinsipil

Seperti halnya Cinta yang nonton sama-sama, pulang sekolah sama-sama, berangkat juga sama-sama, maka kebanyakan konsumen pun melakukan hal yang sama: menggunakan tas yang bisa dipakai kembali. Mengorbankan kepentingan pribadi: malas membawa-bawa tasnya ke mana-mana. Demi sesuatu yang prinsipil: mengikuti anjuran dan demi lingkungan. Bagooos itu.

Jadilah tiap ke supermarket bawa tas hijau. Biar tidak kena dua ratus rupiah, dibelilah beberapa tas hijau, satu untuk di rumah, satu untuk di mobil, sehingga tiap mampir ke supermarket kecil pun tidak berplastik. Ini terus dilakukan sehingga menjadi sebuah kebiasaan baru. Demi sesuatu yang prinsipil gitu loh.

Demi sesuatu yang prinsipil jugalah jika seorang konsumen terdengar berkeluh “Wah, harus beli kantongnya IK*A nih, yang besar banget. Soalnya saya belanjanya bulanan”. Ya silakan. Itu kan tidak mengorbankan kepentingan pribadi, soalnya agak sedikit lumayan bergensi, kan? Ups!

Ya, jadi kayak gini

Mau bagaimana lagi. Persis seperti Rangga turun bus saat ada tawuran dan kemudian dikeroyok, seperti itu pula perasaan beberapa konsumen (mungkin) saat belanja bulanan dan kemudian dikeroyok: barang banyak, bayar plastik banyak, ditenteng pasti tidak, pake dus berkotak-kotak. Ya, jadi kayak gini: semuanya dimasukkan ke troli. Tanpa plastik. Tanpa kardus. Tanpa tas. Istilahnya, tanggung sekalian demi yang prinsipil, tanpa apapun: meski efeknya dua kali mindahin: troli – mobil, mobil-dapur.

Kamu jahat!!

Seperti Cinta yang marah dengan Rangga, seperti itu pula mungkin yang dikatakan pegiat lingkungan. “Kamu jahat! Setelah berpurnama melakukan advokasi, lalu sekarang sudah muncul regulasi, kamu masih tetap memakai plastik. Kamu jahat! Jahat! Iiiih Jahat!!”.

Memang sih, sepertinya kok gimana gitu jika masih melihat konsumen menggunakan kantong kresek. Meski, paham juga jika mungkin mereka lupa membawa tas belanja. Tapi kan bisa minta kardus bekas Aqua? Ah, mungkin dia repot tidak ada yang menggendong kardusnya? Tapi kan dia bisa taruh di troli dan lalu masukan ke mobilnya? Oh, mungkin dia hanya bawa sepeda. Tapi kan...

Ya sutralah. “Kalo elo pengen terus seperti itu, itu bukan salah gue. Terus kalo lo gak mau seperti itu, itu bukan salah gue. Bukan salah temen-temen gue”. Da aku mah apa atuh...

Saya mau ngucapin terima kasih sama kamu...Ya udah, gitu aja. Makasih ya

Seperti ucapan Rangga kepada Cinta yang mengembalikan bukunya, seperti itulah pula apa yang harus diucapakan kita semua kepada para konsumen yang telah melakukan diet plastik / kantong kresek, sekecil apapun usaha itu. Dari pengamatan kecil-kecilan seperti di atas, untuk sementara program diet kantong plasik itu berhasil.  

Pengecut!!

Namun, seyogyanya maka diet plastik yang dilakukan bisa dilakukan lebih dari itu. Diet plastik tidak hanya diterapkan kepada konsumen, tetapi juga kepada PRODUSEN.

Mari kita lakukan penelitian kecil-kecilan secara acak. Makan siang dengan ayam kremes yang tadi siang dipesan saja sudah berbau plastik: nasi dibungkus plastik, lalab dibungkus plastik, sambel dibungkus plastik, semuanya di dalam styrofoam. Pesan bubur pun sama sebangun: di dalam styrofoam diberi plastik, kerupuk diberi plastik, sambel diberi plastik, sate ati ampela pun diberi plastik. Jika ke supermarket, bahkan jeruk pun dibungkus plastik, satu demi satu. Untuk buah lengkeng tidak diberi plastik satu-satu...apa bisa jadi ya.

Jadi, diet plastik itu semestinya diterapkan juga kepada pihak PRODUSEN dong. Harus fair. Dan harus berani menerapkannya. Jika ke konsumen berani menekan, maka kenapa takut untuk menekan produsen dalam diet plastik. Kalau takut, ya cocok lah ucapan Rangga di atas itu.

Pengecut!!

Entahlah di segmen mana Rangga mengucapkan kata yang menurut KBBI sama dengan tidak berani atau takut itu. Maklumlah, jangankan AADC2, Ada Apa Dengan Cinta pertama saja penulis belum pernah saksikan juga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun