Mohon tunggu...
Rifki Feriandi
Rifki Feriandi Mohon Tunggu... Relawan - Open minded, easy going,

telat daki.... telat jalan-jalan.... tapi enjoy the life sajah...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

[Ketapels Duo Kartini] Advokasi Kesehatan ala Yuli Supriati – Kartini Tangsel Inspiratif

21 April 2016   21:55 Diperbarui: 21 April 2016   21:59 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Yuli Supriati - Kartini Tangsel Inspiratif | Foto: Gaper Fadli"][/caption]“Life is about making an impact, not making an income” – Kevin Kruse

Sebuah foto terpampang di beranda fesbuk. Seorang bayi lucu innocent sedang lelap tidur. Bayi dengan pipi menggemaskan itu sayangnya memiliki masalah: ada tumor besar di pantatnya. Foto itu kemudian diikuti sebuah status: “Masih ingat ananda Yolla?setelah perjuangan panjang pemeriksaan macam2 dr Fatmawati sampai RSCM Alhamdulillah hari ini sudah bisa masuk BCH RSCM,semoga gak ada kendala batuk pilek,panas suhu tubuh dll hingga bisa dilakukan tindakan,doakan ya sahabat2 semua..Alhamdulillah........”

[caption caption="Beranda Facebook Yuli Supriati | Foto: screenshot"]

[/caption] 

Tiga kalimat yang saya cetak tebal itu menarik perhatian: “perjuangan panjang”, “sampai” dan “sudah bisa masuk”. Itulah momok yang lumrah terjadi bagi masyarakat yang berusaha mendapatkan akses terhadap pelayanan kesehatan pemerintah dengan mengandalkan kartu BPJS. Membutuhkan perjuangan panjang, dari rumah sakit A sampai rumah sakit B hanya untuk bisa masuk dan mendapatkan perawatan. Adakalanya perjuangan panjang itu berujung buntu: tidak ada satu pun rumah sakit yang menerima, atau waktu terbuang percuma, dan ...lalu nyawa tercerabut dari jasadnya.

Itulah yang dilakukan oleh pemilik akun fesbuk dengan foto di atas: Yuli Supriati, perempuan inspiratif bidang kesehatan 2015 tabloid Nova. Yuli adalah seorang relawan yang mengadvokasi pemenuhan hak-hak masyarakat terhadap layanan kesehatan. Sebuah pekerjaan yang tidak mudah, karena ini berhubungan langsung dengan dua sisi yang saling berhadapan: pasien dan rumah sakit. Sisi lain juga yang saling berhadapan: kepentingan manusiawi (kesehatan) dan keberlangsungan rumah sakit (ekonomi).

Generasi (rumah) sakit (?)

Dalam diskusi komunitas Ketapels (Kompasianer Tangsel Plus) dengan Yuli di Dago Cafe hari Minggu, 17 April 2016 lalu, kami bisa lebih jauh mendapatkan pemahaman mengenai “kisruh” pelayanan kesehatan terkini beserta. Sebagai seorang relawan yang juga Sekertaris Jenderal Dewan Kesehatan Rakyat Provinsi Banten, Yuli sudah mengalami berbagai macam pengalaman dan memahami kesulitan masyarakat selama ini, seperti kesulitan pasien mendapatkan ruang ICU, ditolak mendapatkan perawatan di UGD, dipingpong dalam pengurusan administratif, ruang rawat yang selalu disebutkan penuh, penolakan beberapa rumah sakit. Beliau berusaha memberi penyadaran tentang apa hak-hak pasien – terutama peserta BPJS, dan di beberapa kasus beliau turun langsung membantu dan berbicara dengan pihak rumah sakit.

[caption caption="Duo Kartini Inspiratif Tangsel - Riris dan Yuli | Foto: Rifki Feriandi"]

[/caption] 

Ada sesuatu yang menarik dalam diskus di hari Minggu dengan rintik hujan itu. Ketika menjawab pertanyaan tentang kenapa terjadi kesulitan pelayanan kesehatan ini, Yuli mengemukakan jawaban yang menggelitik. Menurut beliau, BPJS sebenarnya lebih baik dibanding program sebelumnya. Namun, program ini tidak atau belum didukung dengan kesiapan dari berbagai pihak, termasuk salah satu pihak utamanya yaitu DPR/DPRD sebagai pihak pengawas terhadap rumah sakit. Selain itu, dengan BPJS, sepertinya terjadi pergeseran “budaya”.

 Masyarakat sekarang cenderung pergi ke rumah sakit, meski sebenarnya sakitnya tidak seberapa. Pilek sedikit ke dokter atau rumah sakit. Pening sedikit ke dokter atau rumah sakit. Budaya mencoba mengakali kesehatan dengan melakukan hal alternatif, seperti jamu atau kerokan atau bahkan “tidur saja” serta “minum air yang dido’ain”, sedikit ditinggalkan. Hal ini karena masyarakat sekarang memahami bahwa mereka memiliki “hak” untuk berobat dengan kartu BPJS,

 dan mereka tidak mau menyia-nyiakan hak tersebut. Akibatnya, wajar jika untuk mendapatkan pelayanan dengan kartu BPJS, seorang pasien (atau keluarganya) bisa harus mendaftar sehari sebelumnya atau terkadang menginap di depan konter pendaftaran untuk mendapatkan nomor awal dari ratusan nomor.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun