Dalam sebuah diskusi dengan beberapa panelis, peran fasilitator – sering disebut juga dengan moderator – terasa sangat penting. Fasilitator bertugas mengarahkan sebuah diskusi dengan baik, menjaga pembicaraan tetap dalam koridor topik dan juga menjadi penjaga gawang ketaatan dalam penggunaan waktu untuk suksesnya acara secara keseluruhan.
Sebagai audiens dari beberapa seminar dan diskusi panel, kita terkadang bisa membedakan mana diskusi yang difasilitasi dengan baik dan mana yang sepertinya perlu perbaikan. Seperti halnya yang terjadi pada diskusi panel yang dimotori sebuah perusahaan besar di sebuah gedung mewah dengan topik kekinian yang saya hadiri tempo hari. Sebagai audiens, saya mencatat beberapa hal yang bisa dipelajari untuk tercapainya sebuah diskusi yang dimoderasi dengan baik.
Vokal: konfiden dan tegas
Dari tiga sesi diskusi panel itu terlihat perbedaan gaya pembawaan tiga fasilitator termasuk dari sisi vokal atau suara. Fasilitator pertama, seorang pria, cenderung bersuara lemah dan datar, kurang menggelegar. Volume suaranya kecil, meski beilau menggunakan mic. Sementara fasilitator terakhir, juga seorang pria, volume suaranya cukup jelas, meski terrlihat kecanggungannya dan ketiadaan ketegasan dalam nada suaranya. Ada sedikit suara gugup dalam intonasinya.
Sementara itu, fasilitator kedua, seorang ibu, boleh diacungi jempol dari segi vokal. Volumenya keras, dan terdengar sangat tegas. Ketegasan yang sebenarnya bisa terlihat dari raut mukanya yang agak-agak mirip Bu Rika, kepala sekolah di sinetron Kelas Internasional. Menurut penulis sebagai audiens, vokal atau suara seperti “Bu Rika” itulah – yang tegas dan konfiden, yang dibutuhkan dalam sebuah diskusi.
Cair, tegas, berani
Dalam diskusi panel di tempat lain yang bahkan di antara panelisnya terdapat tiga menteri secara bersamaan, penulis menyaksikan kemampuan seorang fasilitator yang bagus. Seperti fasilitator lainnya, beliau memulai diskusi dengan melontarkan sebuah pertanyaan. Namun, beliau tidak hanya mempersilakan panelis untuk berbicara sampai selesai dan lalu berpindah bertanya kepada panelis lain. Itu terlalu mainstream.
Beliau berani memotong pembicaraan panelis – meskipun itu seorang menteri – dan mengolah pernyataan menteri itu menjadi sebuah pertanyaan lain. Pertanyaan tersebut bisa ditujukan kepada panelis yang sama atau ditujukan kepada panelis yang lain. Dengan demikian, diskusi berjalan secara cair, hangat, hidup, dan audiens bisa mendapatkan informasi-informasi tambahan yang berhasil digali, tidak melulu hanya pernyataan normatif.
Namun demikian, kenyataan tersebut tidak penulis dapati di diskusi panel terakhir. Ketiga fasilitator tidak menjalankan perannya memoderatori sebuah diskusi. Mereka hanya cenderung melontarkan pertanyaan yang lalu dijawab panelis, menyimpulkan sedikit, lalu melontarkan pertanyaan lain kepada panelis selanjutnya. Bisa jadi ini terjadi karena faktor keterbatasan waktu.
Kenali panelis dan hindari kesalahan kecil yang memalukan
Ada baiknya seorang fasilitator bertemu dan berkenalan dengan para panelis sebelum diskusi panel berlangsung. Jika fasilitator sudah kenal dengan panelis, mungkin dia tidak perlu berkenalan. Tetapi yang belum pernah bertemu, akan sangat penting untuk berkenalan dengan panelis.
Kenapa hal ini dibutuhkan? Sederhana saja, seorang fasiitator sangat membutuhkan informasi panelis ini siapa namanya, atau nama ini yang mana. Selain itu, fasilitator butuh keyakinan siapa panelis yang sudah datang dan siapa yang tidak datang serta siapa yang menjadi panelis yang datang sebagai pengganti.
Apa jadinya jika gara-gara tidak mengenal para panelis, fasilitator melakukan kesalahan-kesalahan yang memalukan. Kesalahan-kesalahan yang dibuat bisa disebut kesalahan kecil, tapi malunya itu loh. Bayangkan jika pada saat memanggil panelis untuk maju ke depan lalu fasilitator itu baru sadar – setelah diberi kode oleh penyelenggara – bahwa panelis yang dipanggil tidak datang.
“Oh, euh, maaf, ternyata Bapak Anu tidak bisa datang”.
Kesalahan seperti itu bisa terus berlanjut bila fasilitator itu benar-benar tidak ingat jika seorang panelis itu tidak datang atau panelis itu diganti.
Contoh kejadian lain yang pernah saya saksikan:
“Sekarang kita berlanjut ke panelis selanjutnya, Bapak Anu”, sambil wajahnya melihat ke salah satu panelis. “Bagaimana menurut Bapak ...bla...bla...bla...”, dia melanjutkan membacakan pertanyaan yang sudah disiapkan untuk panelis Bapak Anu. Panelis-panelis lain saling berpandangan mata, dan salah satu dari mereka mengingatkan bahwa Bapak Anu tidak datang. Loh, jadi sebenarnya panelis yang dia tuju tadi bukanlah panelis yang dimaksud? Jadi orang itu bukan panelis yang dimaksud ya? Jadi ngapain saya ajukan pertanyaan itu ya? Lalu si fasilitator itu sibuk mencari pertanyaan untuk panelis selanjutnya dengan gugup. Kejadian dengan malu yang berlipat, bukan?
Hal itu tidak berhenti di sini saja. Dia lalu melanjutkan pertanyaan lagi kepada panelis dari sebuah instansi. “Sekarang untuk Bapak dari instansi Anu, Bapak Fulan, mengenai bla....bla....”. Panelis dari instansi tersebut lalu bicara, dimulai dengan hal yang menggelegar bagi si fasilitator: “Maaf Pak, saya bukan Pak Fulan, karena Pak Fulan kebetulan tidak bisa hadir, dan saya mewakilinya”. Coba bayangkan bagaimana remuk redamnya hati sang fasilitator. Semuanya karena hal sepele, tidak mengenal panelisnya.
Taat waktu
Inilah kelemahan utama para fasilitator dalam tiga sesi diskusi panel yang terakhir saya ikuti. Semuanya tidak tegas dalam mengatur waktu. Semua sesi yang dimoderasinya memakan waktu jauh lebih banyak dari yang diskedulkan. Tidak terlihat ada keberanian dari para fasilitator itu untuk memotong pembicaraan para panelis jika sudah melewati jatah waktunya. Kejadian itu berulang dari mulai panelis pertama dan berlanjut kepada panelis berikutnya. Yang mereka lakukan lebih banyak berkata “karena kita dibatasi waktu, maka mohon panelis selanjutnya hanya punya waktu lima menit”, “karena saya diingatkan terus oleh panitia, maka mohon dengan sangat Bapak cuman punya waktu lima menit”.
Seyogyanya, fasilitator tahu mengenai hal ini dan tegas mengatur waktu sejak dari panelis pertama berbicara. Sekalinya panelis pertama diberi kelonggaran, efeknya akan berimbas ke panelis selanjutnya. Dan jika ini berlanjut terus, bisa saja timbul ‘komplen” dari panelis terakhir, seperti yang juga saya dengar, kira-kira seperti begini “mendingan gue gak ngomong deh, gak apa-apa gue mah, ikhlas”.
Begitu pengamatan saya sebagai audiens dari benerapa diskusi panel
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H