Kamis ba'da subuh itu, sebuah surat masuk ke kotak pos gratisanku. 'Selamat, tulisan anda masuk di Freez hari ini!'.
Empat W satu H sekonyong-konyong muncul.
What? Tulisannya muncul di Freez Ooooy
Who? Ya kamu, masa admin kirim email salah sasaran
Why? Mungkin sedikit entri untuk topik yang diangkat dan admin kasihan sama kamu
When? Kamis ini lah
How (come)? Hmmm, jangan merendah gitu deh.
WOOOW.....
Ah, Â bahagianya diriku. Sebahagia induk ayam melihat telornya menetas setelah 35 tahun dierami. Serasa mimpi menjadi nyata. Serasa perjuangan teraih sempurna. Serasa keikhlasan terbayar paripurna.
Halah, lebay.
Lalu ingatan melesat ke masa lalu saat saya paling takut dengan pelajaran mengarang. Jika disuruh Bu Guru, sudah gak berkutik. Jangankan. menuliskan sebuah cerita, apa yang mau ditulis juga tidak tahu. Ujung-ujungnya nilai mengarang jeblok. Akhirnya saya berubah menjadi seorang pemimpi. Sebagai seorang remaja yang amat-sangat biasa seperti orang kebanyakan, saya hanya bisa menyimpan harapan di angan-angan. Kala orang lain bersorak tulisannya nongol di kolom 'Arena Kecil' atau 'Tak disangka' majalah Bobo, saya hanya ikut-ikutan bersorak. Saat orang lain bangga ceritanya masuk majalah Aneka, saya hanya ikutan berdecak kagum. Bahkan saat banyak sejawat seru membahas puisi yang terpampang di majalah dinding saja, saya hanya tertegun 'Kok, bisa ya mereka menulis?' atau 'Kapan ya saya bisa menulis seperti itu?'.
Seperti juga anak kebanyakan, saya tidak ada turunan penyair, penulis atau sastrawan. Tidak ada juga darah guru dan pendidik dari ibu, bapak, nenek atau kakek. Tidak ada yang membangkitkan gairahku untuk bisa menulis. Akhirnya kembali hanya mimpi. Tidak muluk-muluk. Bukan mimpi menjadi penulis. Hanya mimpi BISA menulis. Karena tidak bisa menulis, maka ... ah cukup jadi pembaca saja lah. Lalu saya menjelma menjadi kutu yang melompat dari satu perpustakaan ke perpustakaan lain. Tentunya perpustakaan yang gratis.
Melangkah ke usia bekerja, mengumpulkan receh demi receh, barulah buku terbeli. Saat menulis pun tiba, meski karena terdesak kebutuhan pekerjaan: menulis laporan. Sedikit-demi sedikit, hasrat INGIN menulis mulai muncul. 'Bisa menulis' mulai mencair, tidak hanya dalam bentuk mimpi saja. Dan dua tahun lalu, 33 tahun dari sejak saya mengenal tulisan, dalam usia 39 tahun, muncullah tulisan pertama yang saya buat karena saya INGIN membuatnya. Saya ternyata berhasil melawan ketakutan, kebekuan, kemalasan atau ketidakberanian yang selama ini menguasai.
Itulah prestasi terbesarku dalam menulis: mencairkan kebekuan. Tulisan itu lalu menjadi titik balik bagiku, awal baru keasyikan saya bercengkrama dengan diri, asyik menemukan diri. Dan di fesbuk lah tulisan itu disimpan. Di fesbuk pulalah terpahami arti sebuah apresiasi dalam bentuk komentar. Di fesbuk pulalah gairah menulis bersemi dan terus bersemi. Di fesbuk pulalah dimengerti hakikat 'saya BISA menulis'. Lalu, tinta terus mengalir. Pena terus bergulir. Cerita mudah-mudah tidak berakhir, karena yang ditulis adalah apa yang kurasakan. Kutuliskan apa yang kupikirkan. Kutuliskan apa yang kualami. Kutuliskan apa yang kupahami. Kutuliskan apa adanya. Kotretan seadanya.
Lalu muncul inisiatif berbagi. Dan  kukirimkanlah tulisan itu ke beberapa surat kabar dan penerbit. Satu. Dua. Tiga. Enam. Dan setumpuk tulisan dalam bentuk satu kompilasi. Yang kudapati hanyalah sebuah penolakan dan berbutir pencuekan.
'Ah, mungkin tulisan saya belum bagus kaidah bahasanya. Ah, mungkin tulisannya baru bagus untuk diri dan kalangan terdekat, bukan untuk konsumsi publik. Ah, memang saya masih jauh jadi penulis. Ah, memang saya masih harus banyak belajar'.
Sampai akhirnya kutemukanlah Kompasiana dengan cucuran deras artikel-artikelnya. Dengan bagi-bagi tips-ilmu menulis gratisnya. Dengan tebaran pengalaman-pengalaman para punggawa pena. Dengan ajakan-ajakan tantangan pembuktian diri. Sebuah wahana lengkap pembelajaran.
Kularutkan diri dalam tarikan kumparan arus menulis itu. Kuikut berbagi dan berkomunikasi. Dan kuikut tantangan uji-kompetensi. Lomba ini, lomba itu, kopdar ini, kopdar itu. Kubiarkan diriku menikmati aktivitas itu. Kubiarkan emosi terluapkan secara tidak meledak-ledak. Positif atau negatif. Â Kubiarkan juga ekspektasi melayang. Kubiarkan juga diriku memahami arti kegagalan dan kekecewaan. Ah, ikhlaskan. Semua adalah proses.
Dan akhirnya Freez adalah pembuktian diriku. Bukan  tentang pembuktian kehebatan, keunggulan atau kepiawaian. Bukan itu. Tapi Freez adalah pembuktian tiga buah kata yang tanpa sadar telah menuntunku:
Tiga kata inspiratif itu pula yang dituliskan Mas Ahmad Fuadi - pengarang buku Negeri 5 Menara - dalam bukunya yang saya beli yang beliau tanda tangani. Ah, what a coincidence.
Sekarang telur sudah pecah. Lalu?
Tetaplah bermimpi.
Tetaplah berusaha.
Tetaplah ikhlas.
Insya Allah
Cag, kontemplasi di Hari Arafah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H