Mohon tunggu...
Rifki Feriandi
Rifki Feriandi Mohon Tunggu... Relawan - Open minded, easy going,

telat daki.... telat jalan-jalan.... tapi enjoy the life sajah...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

From Sendai with Tears

19 Maret 2011   15:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:38 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Gusti, Tuhanku
Kini aku bersimpuh di penghujung malam
Dalam bekunya cuaca musim dingin
Tanpa atap, tanpa jendela
Langsung bersinar rembulan tersaput awan
Dengan pakaian seadanya
Karena itulah yang tersisa

Ya Allah,
Baru kali ini sajadahku adalah bumi tempat kuberpijak
Dan kubersujud di tempat biasa kubersujud
...setidaknya menurut perkiraanku
Karena telah hilang segala jejak
Dan bumi itu pun kini kotor, hitam
Dengan berbagai bangkai
rumah, mobil, kapal dan .... manusia

Dan aku kini sendiri ...

Aku tahu ini cobaanMu Rabbi,
Aku tahu kelak aku kan kehilangan mereka
Istriku...
Anak gadisku ...
Ade bayi kembarku ...
Karena kuberfirasat akan kehilangan mereka di sekelilingku
Namun cobaanmu telak ke jantungku
Kau renggut semuanya, tidak bersisa
Dalam satu waktu

Saat bumiMu Kau suruh menggeliat,
Berdiripun bahkan kami tak mampu
Karena bangunan tempat ku tinggal bergoyang hebat
Bergoyang... seperti sedang mengolok-ngolok penyanyi dangdut dengan gaya berbagai ragam
Goyangan gempa yang terasa
kadang patah-patah
bergetar, atau menggeliat naik turun
Keras, kencang
Beruntung rumah kami hanya berstruktur kayu beratap ringan

Saat itu kami masih bersama, berempat setidaknya

Gempa yang begitu dahsyat
Istriku panik, wajahnya pucat
Pasi
Bayi-bayiku kaget
Histeris
Meski sebenarnya kami terbiasa berlatih bencana
Dan aku? Harus tenang, kan?

Di jeda goyangan, yang hanya sebentar
Kuturuti raungan sirine tanda tsunami
Seperti latihan berkali-kali
Kupaksa berkendara, menjauh bibir pantai
Karena kutahu, gelombang akan datang
Seperti datangnya kecemasan kabar si sulung yang sedang bersekolah

Di jalan yang mulus itu, kupacu mobil putih itu dengan kencang
Tak peduli ini di Sendai, bukannya Jakarta
Aku mengemudi seperti kesetanan,
Seperti dikejar hantu yang siap menerkam
Seperti menjadi penjahat yang dikejar polisi dalam filem di tivi
Dan memang aku ketakutan ya Allah

Istriku sudah lemas tidak bersuara
Wajahnya tidak ubahnya kapas tanpa warna
Diiringi tangis histeris bayi kembarku yang tidak bersuara,
Kulihat dengan sudut mata
Di kejauhan makhluk-makhluk hitam gelap berkejaran
Bak ribuan ekor kuda raksasa
Dengan kecepatan tak terkira

kutengok kaca
Dan jelas, jelas sekali di belakangku sedang mengejar sesosok raksasa
Hitam
Kelam
Tinggi, tinggiiiii sekali Gusti
Lebar-lebaaar sekali bahkan seperti beribu-ribu raksasa saling beriringan mengejar
Bergemuruh ... Menggelegar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun