Mohon tunggu...
Rifki Feriandi
Rifki Feriandi Mohon Tunggu... Relawan - Open minded, easy going,

telat daki.... telat jalan-jalan.... tapi enjoy the life sajah...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

From Sendai with Tears

19 Maret 2011   15:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:38 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Bagaimana aku harus tenang Ya Allah?
Aku takut
Tapi ku tak punya waktu untuk takut
Tatkala sekonyong-konyong tangan raksasa hitam itu mencengkeram mobilku
Dengan raungan memekakkan dan tetap
menggelegar
Tangan-tangan itu mempermainkan kami dalam tempo yang sangat cepat
Mengangkat mobil kami
Melemparkan ke kiri,
Ke kanan, memutar, memelintir, menggulung
Menghempaskannya keras
Keras
Bagaikan kami ini hanya sebuah boneka mainan
Dan...
Mencabik-cabik kendaraan kami
Sampai semuanya menjadi GELAP dan SESAK

Kini baru aku menangis Gusti
Jangankan melepaskan pegangan istriku
Memegang erat belahan jiwaku-pun aku tak sempat
Jangankan mempertahankan pelukan anak kembarku
Mendekap mereka pun aku tak bisa
Karena aku sibuk berkendara
Ingin menyelamatkan MEREKA

Kini air mataku baru bisa mengalir
Kerongkonganku baru tercekat
Aku kehilangan mereka
Aku rindu mereka

Telapak tangan ini masih merasakan dinginnya tangan lembut istriku
Yang memandangku pasrah: 'Yah, takdir Yah'
Dada kiri kananku ini masih tersisa hangatnya badan bayi kembarku yang meronta
Dan kepala ini masih segar memandang mereka pagi hari sebelumnya
Dengan senyum lembut dan sapa halus 'Assalamualaikum ayah. Minum tehnya dulu'
Atau sore sebelumnya
Dengan mulut menganga, bergantu senyum-senyum lucu diselingi ketawa bahagia, berjalan tertatih-tatih berlomba didekap ayah
Atau malam sebelumnya
Tatkala dengan manjanya si Kakak bertanya soal matematika. Kakak.

KAKAK? Di mana KAKAK? Ya Allah, di mana si sulung? Gusti.... Ya Allah....
Ayah macam apa aku ini?
Ayah macam apa?
Kenapa aku tidak berusaha menjemputnya di sekolah?
Kenapa?
Kini, di mana Kakak?
Kakak, maafkan ayah Nak.
Maafkan ayah Nak
Maafkan....

Ya Rabb,
Aku harus pasrah dengan takdirmu
Namun aku manusia biasa, Tuhan
Yang akan terus merasa kehilangan
Rindu
Dan merasa bersalah
Tidak pantas kubertanya, tetapi bolehkah ku memaksa, kenapa Kau biarkan aku merana?

Ya Allah,
Kau Maha Perkasa
Aku adalah hina

Maafkan aku.....
Maafkan aku.....
Maafkan Ya Rabb

Terimalah mereka, istriku, kakak dan mutiara kembarku
Jadikanlah mereka kesayanganMu
Karena bukankah Kau berikan mereka rahmatMu dalam bentuk kematian

Kuatkan aku...
Kuatkan diriku
Kuatkan ummatMu
Untuk menerima ini sebagai cobaanMu

Aku harus hadapi kehampaan ini
Aku harus hadapi kesulitan ini
Aku harus hadapi kelaparan ini
Aku harus hadapi kehausan ini
Aku juga harus hadapi dingin menusuk ini
Juga antrian ini
Harus aku hadapi
Karena aku ingin tetap hidup di jalanMu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun