Mohon tunggu...
Rifki Feriandi
Rifki Feriandi Mohon Tunggu... Relawan - Open minded, easy going,

telat daki.... telat jalan-jalan.... tapi enjoy the life sajah...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tetanggaku Pembunuh!!!

5 Juli 2011   23:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:54 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini cerita nyata yang saya dengar dari seorang teman.

Di suatu komplek perumahaan menengah, sore hari menjelang maghrib, beberapa bapak mulai tiba di rumah dari pekerjaan yang melelahkan. Seperti layaknya perumahan kelas menengah, beberapa penghuni sudah memiliki mobil, termasuk Pak Asmin - sebut saja demikian. Saat itu seperti biasanya, dia datang mengendarai mobilnya dengan kecepatan standar. Berhubung dia sudah hapal dengan kondisi lingkungan sekitar rumahnya, maka kecepatan standar bagi dia mungkin bisa dianggap cukup kencang untuk ukuran perumahan menengah.

Beberapa jarak sebelum sampai ke rumahnya, di mana anak semata wayangnya sudah berkelebatan di pelupuk matanya, tiba-tiba dari rumah tetangganya - sebut saja Bu Yuli, keluar anak usia empat tahun dengan otopetnya. Dengan gerakan energik penuh tenaga usia empat tahun, dia turun dari ram garasi rumahnya ke jalan dengan kecepatan penuh, khas anak kecil. Sayangnya, dia tiba persis di depan mobil Pak Asmin ya sedang berjalan. Tertabraklah dia oleh mobil yang belum direm mendadak namun belum sempat berhenti.

Dengan terkejut, Pak Asmin langsung turun dan melihat anak tetangganya terkapar, dengan beberapa luka benturan cukup keras. Dengan penuh tanggung jawab dia kemudian bawa anak itu ke rumah sakit terdekat, namun disarankan ke rumah sakit lain karena lukanya sudah cukup parah. Dia bawa lagi anak itu ke rumah sakit kecil lainnya yang cukup dekat, dan mendapatkan saran yang sama. Sampai akhirnya dia bawa ke rumah sakit cukup besar, hanya untuk mengetahui anak itu - anak tetangganya - sudah tiada.

Dan tatkala Bu Yuli beserta suaminya mengetahui bahwa anaknya meninggal, meledaklah emosi mereka. Pekikan dan teriakan penuh emosi, disertai tangisan tumpah ruah. Apalagi anaknya itu adalah anak satu-satunya. Dan Pak Asmin hanya tertunduk, meskipun Bu Yuli dan suaminya berteriak 'Pembunuh-pembunuh'.

Kawan. Cerita nyata seperti itu cukup berbekas untuk diri saya. Saya mencoba berada dalam posisi Pak Asmin: pulang kerja, bahagia anak semata wayangnya sudah menunggu di pintu pelupuk matanya namun beberapa rumah sebelum tiba, justru dia menghilangkan nyawa anak tetangganya. Meski dia tidak masuk penjara karena keluarga memaafkannya, apakah dia bisa tahan begitu saja lewat ke tempat kejadian, tiap hari, dengan bayang-bayang anak tetangganya yang terkapar persis di depan mobilnya, mobil yang dikendarainya. Apakah dia bisa begitu saja tidak memperdulikan pekikan Bu Yuli dan suaminya yang notabene adalah tetangga dekatnya, juga bisikan tetangga lainnya, yang berkata 'Tetanggaku pembunuh'. Saya mencoba memahami jika saya berada dalam posisinya, apa yang kemudian akan saya rasakan: perih, pedih, kok jadi begini, hanya karena satu kesalahan kecil bernama LALAI.

Teman. Coba juga kita berada dalam posisi Bu Yuli. Anak cowok satu-satunya, yang dia dan suaminya idam-idamkan, dan juga begitu dia sayangi dan banggakan, hilang begitu saja tanpa tanda-tanda dan tanpa aba-aba. Apakah yang dia akan rasakan tatkala sadar bahwa dia yang baru saja 'berantem' dengan anaknya agar bisa mandi, dan baru saja istirahat sebentar dengan melihat acara televisi, kemudian menyadari jika harusnya dia bisa lebih menyelamatkan anaknya. Bagaimana perasaannya sebagai ibu yang mengandung melahirkan mengasuh dengan sepenuh hati, kemudian mendapati suaminya yang sangat menyayangi dirinya dan diri anaknya menyesali kejadian - meski dengan suara pelan terbata-bata: 'harusnya ayah bisa lebih menjaga kamu, nak', yang dirasakan sebuah tamparan baginya karena TELEDOR.

Saudaraku. Bermacam tanggapan kita - orang luar - terhadap kasus itu. Tidak perlulah kita menambah beban mereka. Doakan saja agar mereka bisa tabah dan ikhlas menghadapi cobaan berat seperti ini. Yang bisa kita lakukan adalah memetik hikmahnya, yaitu:
1. Apapun yang terjadi, sesepi bagaimanapun suasana sebuah perumahan, TAATILAH rambu kecepatan di perumahan. Pelanlah dan ekstra hati-hatilah dalam mengemudi, karena bisa jadi secara mendadak muncul anak-anak dari rumahnya dengan berlari kecepatan penuh. Jika mengendarai mundur kendaraan anda, pastikan tidak ada anak kecil di belakang mobil kita dan ekstra hati-hatilah. Jika terlihat beberapa anak-anak di sekitarnya, mintalah seseorag menjadi 'juru parkir' sementara.
2. Jagalah anak kecil balita kita sesuai dengan umur, karakteristik dan perilaku mereka di mana saja mereka berada. Perlakuan terhadap bayi setahun setengah mungkin berbeda dengan terhadap anak empat tahun, tapi pengawasannya mungkin saja sama jika anak empat tahun itu sangat aktif. AWASILAH anak bukan saja untuk menghindari celaka, tapi juga dari bahaya penculikan. Jika perlu dan mampu, mintalah tenaga pembantu, baby sitter atau asisten rumah tangga.

Mari kita lakukan kebaikan-kebaikan, sehingga semoga keburukan-keburukan seperti itu bisa terhindar dari diri kita.

Cag, 6 Juli 2011

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun