Mohon tunggu...
Rifki Feriandi
Rifki Feriandi Mohon Tunggu... Relawan - Open minded, easy going,

telat daki.... telat jalan-jalan.... tapi enjoy the life sajah...

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Peluncuran Buku Rasa Kopdar - Gak Ada Ahok, Thamrin Pun Boleh

22 Mei 2014   04:48 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:15 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini hari serba kebetulan. Kebetulan sedang jalan ke daerah pusat, kebetulan pula ingat ada peluncuran buku Ahok di Senayan, kebetulan pula sudah bilang pulang malam ada acara kantor, kebetulan pula acaranya batal. Berangkatlah saya ke Plaza Senayan, toku buku Kinokuniya.

Eh....ternyata kebetulan pula Ahok nya berhalangan.

Never mind. Tidak mengapa. Teu nanaon. No problemo. Tidak ada Ahok Thamrin pun jadi. Lho?

Jangan menyesal dan berkeluh kesah lah jika yang dinanti membatalkan diri. Kita nikmati yang terjadi. Asyik mendengarkan Ahok tidak jadi, kenapa tidak mempergunakan waktu yang ada untuk silatutahim. Itulah yang saya lakukan: kopi darat dengan rekan penulis Kompasiana.

Di lokasi acara saya melihat Kang Pepih. Sengaja saya cuman melihat saja, tidak ingin dilihat Kang Pepih. Karena dalam dua kali pertemuan - Kompasianival pertama dan kedua - tiap kali bertemu rasanya saya kagok dengan beliau. Beliau begitu sopan. Entahlah, apa karena saya pakai batik sehingga kelihatan seperti penggede - memang sih badanku gede - atau karena wajahku terlihat tua - perasaan sih gak - atau karena sama-sama USA - urang sunda asli? Ah entahlah.

Lalu saya berjumpa dengan Kak Edrida Pulungan yang energik, selalu menebar senyum. Kita sempat berfoto berdua. Dan saya pun berbahagia karena Kak Ed membubuhkan tanda tangannya di buku yang ada tulisan dia. Keren kan? (maksudnya Kak Ed yang keren, sudah jadi penulis yang dimintain tanda-tangan) - eh, kenapa saya manggilnya Kak elEd ya, dia kan lebih muda.

Ketemu juga saya dengan Mas Harja Saputra, yang khas dengan kameranya. Dari basa yang tidak basi saya menemukan jika Mas Harja belum menelurkan buku ya? Padahal, tulisan Mas Harja keren-keren. Reportasenya ciamik. Dan yang bacanya pun mendapatkan hikmah dari tulisannya. Ayo Mas, bikin buku. Biar kita bisa belajar dari Mas Harja.

Lalu kutemukan juga dia, guru cilik bernama Maria Margaretha. Cilik karena lebih kecil dibanding saya - kayaknya semuanya lebih kecil deh. Cilik juga karena dia pengajar anak SD. Dari percakapan sebentar saya menangkap semangat besar dari mbak Maria untuk berbagi hikmah-hikmah kehidupan yang dia alami sebagai guru. Saya doakan semoga cepat bisa mewujudkan mimpi membuat buku yang sudah dimulainya.

Saya juga berjumpa dengan bu Rohmah yang datang belakangan dan tidak kebagian tempat duduk. Sayangnya saya juga tidak duduk Bu, jadi tidak bisa memberikan kursi saya. Saya lebih banyak bercakap mengenai semangat puteraya, Amri, Kompasianer muda yang sering menulis dalam bahasa Inggris. Keren. Sayangnya, tulisan-tulisannya jarang terbaca luas karena rubrik English nya tidak pernah berubah dan tidak ada tanda-tanda serius dibenahi. Padahal selain Amri, banyak tulisan berbahasa Inggris yang sangatvlayak untuk dibaca dan diapresiasi.

Nah yang paling lama dan seru ngobro adalah denga duo-T, Thamrin kuadrat: Thamrinn Dahlan dan Thamrin Sonata. Siapa yang tidak kenal Thamrin Dahlan? Beliau penulis senior - dari segi umur dan pengalaman berkompasiana, yang juga seorang dosen yang aktif di BNN serta sudah mengeluarkan beberapa buku. Salut dengan beliau yang terus menulis, tidak menghiraukan bullying di tulisan politiknya, tetap akrab. ...dan beliau punya ingatan tajam: masih ingat nama saya. Wah, saya harus meniru semangat menulis beliau nih.

Nah Thamrin selanjutnya lah percakapan seru terjadi. Thamrin Sonata, penulis Kompasiana yang juga seorang editor dan telah menjembatani terbitnya buku-buku karya Kompasianer. Saya salut dengan inisiatifnya sehingga kompasianer biaa menyalurkan tulisannya menjadi buku. Dan ini rasanya akan sangat membantu tidak saja para penulis lepas seperti saya, namun juga untuk guru-guru. Saya juga ungkapkan bahwa hal itu jika ditindaklanjuti akan sangat bagus sehingga misalnya seorang guru Bahasa Indonesia bisa membukukan tulisan karangan anak-anak didiknya dalam bentuk sebuah buku sehingga manfaatnya sangat terasa. Pembicaraan saya dengan Pak Thamrin Sonata rasanya menjadi lebih seru ketika beliau bercerita pengalamannya tentang liku-liku penerbitan buku.

Ternyata, tidak ada Ahok pun Thamrin pun jadi.

Jakarta, 21 Mei 2014

Ditulis melalui hape sentuh, jadi mohon dimaklum jika banyak salah sentuh (salah ketik di layar sentuh)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun