Mohon tunggu...
Rifki Aufa Fikri
Rifki Aufa Fikri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Hobby Otomotif, Membuat Konten Otomotif

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

PPN 12% Obat Mujarab atau Racun bagi Ekonomi Indonesia?

3 Desember 2024   13:32 Diperbarui: 3 Desember 2024   13:38 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Rencana pemerintah untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada Januari 2025 memerlukan analisis kritis yang mendalam. Meskipun pemerintah berargumen bahwa peningkatan penerimaan negara ini krusial untuk mendanai program pembangunan infrastruktur dan kesejahteraan sosial, dampaknya terhadap perekonomian makro dan kesejahteraan masyarakat perlu dikaji secara komprehensif sebelum implementasi.

Pertama, peningkatan PPN berpotensi signifikan mengurangi daya beli masyarakat, khususnya kelompok berpenghasilan rendah dan menengah. Studi empiris telah menunjukkan korelasi positif antara kenaikan PPN dan penurunan konsumsi rumah tangga.

 Hal ini dapat mengakibatkan penurunan permintaan agregat, yang berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi domestik. Lebih lanjut, beban tambahan ini dapat memperburuk ketimpangan pendapatan dan meningkatkan angka kemiskinan.

Kedua, dampak inflasi akibat kenaikan PPN perlu dipertimbangkan secara serius. Peningkatan biaya produksi yang dibebankan kepada konsumen dapat memicu reaksi berantai (ripple effect) yang menyebabkan inflasi. Kondisi inflasi yang tinggi akan mengikis daya beli riil masyarakat dan menciptakan ketidakpastian ekonomi, yang pada akhirnya dapat menghambat investasi dan pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Model ekonometrika yang komprehensif diperlukan untuk memprediksi besarnya dampak inflasi ini.

Ketiga, efektivitas kenaikan PPN sebagai instrumen peningkatan penerimaan negara patut dipertanyakan. Studi menunjukkan bahwa peningkatan pendapatan negara dari kenaikan PPN belum tentu sebanding dengan kerugian ekonomi yang ditimbulkan. 

Alternatif kebijakan fiskal yang lebih efisien dan berkeadilan, seperti reformasi sistem perpajakan yang lebih progresif dan pengetatan pengawasan perpajakan, perlu dipertimbangkan. Peningkatan efisiensi dan transparansi dalam pengeluaran pemerintah juga krusial untuk memastikan efektivitas alokasi dana.

Kesimpulannya, rencana kenaikan PPN 12% pada Januari 2025 memerlukan kajian yang lebih mendalam dan komprehensif. Analisis dampak makro ekonomi, studi mengenai distribusi beban pajak, dan evaluasi terhadap alternatif kebijakan fiskal lainnya sangat penting untuk memastikan kebijakan ini tidak kontraproduktif terhadap tujuan pertumbuhan ekonomi inklusif dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. 

Kajian yang melibatkan berbagai pakar ekonomi dan perencanaan pembangunan sangat diperlukan sebelum keputusan final diambil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun