Pati, 9-Agustus-2021
Salah satu tradisi di tanah jawa yang masih dipertahankan yaitu Ritual Bulan Suro (Asy-Syuro) yang lebih akrab dikenal dengan tradisi Suroan atau dalam agama Islam merupakan tahun baru hijriah 1 Muharram.Â
Tradisi Suroan merupakan upacara tradisional Jawa dalam menyambut tahun baru Jawa yang merupakan asimilasi budaya dari budaya Jawa dan budaya Islam yang dilakukan oleh Sultan Agung.
Tradisi ini dilakukan masyarakat untuk menghindari kesialan, bencana, musibah. Tradisi ini dilakukan dengan disertai berbagai macam kegiatan lain, seperti halnya haul (pengajian), brokohan (acara syukuran atau slametan), malam tirakatan, pawai ta'aruf (karnaval) dan sebagainya.
Pandangan masyarakat Jawa terhadap bulan Suro sering dianggap sebagai bulan baik, namun juga sering disebut sebagai bulan sacral dan bulan yang penuh mara bahaya. Bagi pemilik keris biasanya keris tersebut harus dicuci atau dimandikan (dicuci) dengan air kembang (bunga) lengkap dengan kemenyan, dupa serta ubo rampe yang lain saat malam satu Suro.
Dalam rangka pemenuhan tugas program kerja KKN yaitu Pendidikan dan Dakwah Keagamaan Berbasis Walisongo, sekaligus untuk memberikan pemahaman dan meluruskan fakta masyarakat tentang tradisi suronan, Kelompok 13 KKN MIT DR 12 UIN Walisongo Semarang mengadakan podcast dengan tema "Tradisi Suronan di Tanah Jawa". Yang dilaksanakan pada tanggal 19 Agustus 2021, pukul 20.00 WIB bertempat di Masjid Jami' Al-Muttaqin Desa Bulumanis Kidul, Kecamatan Margoyoso, Kabupaten Pati.
Podcast ini mengundang 1 narasumber, yaitu Adib Luthfi, S.Ag. ia adalah seorang guru sekaligus tokoh masyarakat di Desa Bulumanis Kidul. Beliau sangat memahami seluk beluk terkait dengan Suronan, Kejawen, Islam Kejawen, serta Walisongo.
"Tradisi Suronan itu dibawa oleh Sultan Agung Handjokro Kusumo, beliau memberi nama 1 Muharram dengan As-Syuro yang artinya 10, namun oleh karena lidah orang jawa yang sulit untuk menyebut kata tersebut, maka masyarakat jawa menyebutnya dengan Suro " ungkap Adib narasumber podcast.