Jumlah kendaraan peribadi, baik roda dua dan roda empat di Kota Bandung mengalami peningkatan dari tahun ke tahunnya. Hal ini Bisa dibuktikan dengan realita dijalan kota Bandung yang setiap harinya selalu saja dihiasi dengan kemacetan dan penuhnya lahan parkir,baik legal maupun liar.
Dalam UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN tertulis bahwa pejalan kaki berhak disediakan fasilitas berjalan kaki oleh negara, dan hal ini diwujudkan dengan dibuatnya trotoar dan separator jalan demi kemudahan dan kenyamanan pejalan kaki. Tapi apakah kemudahan kenyamanan itu didapatkan?berikut jawabannya.
Jika kita berjalan kaki di beberapa ruas jalan di Kota Bandung, semisal kawasan Alun-alun, pagarsih, Cicaheum dan pusat keramaian serta industri UKM lainnya, maka yang kita rasakan hanyalah kejengkelan. Kenapa tidak, trotoar yang semestinya digunakan untuk berjalan kaki kini beralih fungsi menjadi lahan untuk menggelar dagangan para PKL, tak hanya itu yang lebih parah ialah dijadikan lahan parkir motor oleh oknum masyarakat yang mengaku dirinya sudah mendapat ijin dari dinas terkait dengan “SK” ijin berupa upeti pada oknum dinas terkait tersebut. tak cuma dijadikan lahan berjualan dan lahan parkir, tapi terkadang dijadikan jalan alternatif untuk menghindari kemacetan oleh para pengendara motor.
Dengan beralih fungsinya trotoar, maka terpaksa pejalan kaki harus berjalan kaki dibahu jalan,yang sama saja telah beralih fungsi,yaitu ada yang menggunakannya sebagai lahan berjualan oleh PKL dan lahan parkir mobil oleh oknum pula.
Dengan berubah fungsinya trotoar dan bahu jalan,maka tak ada pilihan lain selain berjalan ditengah jalan, dan hal itu beresiko tinggi, sebab pejalan kaki harus bersaing,berbagi jalan dengan pengendara kendaraan pribadi yang semakin hari semakin egois yang merasa jalan raya itu seluruhnya untuk kendaraan dan pejalan kaki seolah-olah dilarang ada di jalan.
hal ini saya tulis sesuai dengan pengalaman saya. saya sering pergi dan pulang kuliah menggunakan kendaraan umum, berupa damri atau angkot, dan jika menggunakan kendaraan pribadi otomatis dihiasi dengan jalan kaki. saya sering berjalan kaki dari Alun-alun kota Bandung ke rumah di kawasan Jamika yang jaraknya lebih kurang sekitar 2KM. sepanjang berjalan kaki, memang hal-hal diatas yang saya rasakan, berjalan ditrotoar terganggu kenyamannya oleh lapak PKL, lahan parkir dan pengguna motor yang mejadikan jalan alternatif guna menghindari kemacetan.
Bejalan di bahu jalan, saya harus rela tersendat oleh mobil yang parkir dipinggir jalan,sehingga sesaat harus ke tengah jalan, dan itu beresiko mati karena hilir mudiknya kendaraan yang egois.
sungguh ironi memang hal ini, namun demi perubahan dan kenyamanan berjalan kaki, yang dibutuhkan bukanlah peraturan atau kinerja pemerintah dan dinas terkait saja, karena yang paling utama dari sebuah perubahan etika sosial masyarakat ialah masyarakat itu sendiri yang harus berubah dan sadar akan kenyamanan dan hak orang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H