Mohon tunggu...
Rifkah Saffanah
Rifkah Saffanah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam

Universitas Islam Negeri K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Dakwah, Adab dan Tanggung Jawab Moral

4 Desember 2024   22:12 Diperbarui: 4 Desember 2024   22:28 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Bapak Sunhaji pedagang es teh. Sumber: Template Instagram

Baru-baru ini sebuah potongan video menjadi sorotan masyarakat di Indonesia. Potongan video tersebut ramai dibincangkan oleh warganet yang kemudian mereka beramai-ramai membuat hastag “Mending jualan es teh daripada jualan Agama”. Potongan video tersebut ramai dan kerap menjadi kontroversi warganet karena di dalam video tersebut terdapat seorang pendakwah terkenal yang menggunakan kata-kata kasar dalam berdakwahnya. 

Berdakwah sendiri merupakan proses menyampaikan ajaran Islam kepada orang lain dengan tujuan mengajak kepada kebaikan dan meninggalkan keburukan. Seorang pendakwah juga dituntut berdakwah dengan moderat, seperti menggunakan bahasa yang santun, tanpa menimbulkan kesan memaksa, menyudutkan atau merendahkan pihak lain. 

Oleh karena itu, adab menjadi bagian terpenting dari akhlak yang mencerminkan integritas moral seorang muslim. Adab tidak hanya berkaitan dengan ibadah kepada Allah SWT, tetapi juga dengan hubungan antar sesame manusia, seperti berbicara menggunakan bahasa yang baik, menjaga sopan santun dan menghormati orang lain tanpa memandang status sosial. Adab sendiri menjadi landasan utama dalam kegiatan berdakwah. Tanpa adab, pesan dakwah dapat kehilangan esensi dan daya tariknya, bahkan berpotensi merusak citra Islam itu sendiri. Dakwah tanpa adab ibarat pohon tanpa akar, lemah dan mudah runtuh.

Video yang memperlihatkan pendakwah terkenal sekaligus sebagai Utusan Khusus Presiden yang menggunakan kata-kata kasar terhadap seorang penjual es teh (Sunhaji) di sebuah pengajian di Magelang ini, memicu perdebatan luas di media sosial serta menarik perhatian berbagai pihak. Mulai dari Masyarakat hingga Partai Gerindra, yang mendesak agar pendakwah tersebut meminta maaf dan mengevaluasi posisinya sebagai Utusan Khusus Presiden. Sebagai figur publik dan tokoh agama, Gus Miftah diharapkan dapat menjadi teladan. Ucapan bernada kasar yang ia lontarkan, meski disebutnya hanya sebagai guyonan spontan, atau bahkan sebagai bagian dari metode dakwahnya, ini mencerminkan kurangnya sensitivitas terhadap situasi dan posisi dirinya. Sebagai seorang dai, dakwah seharusnya dilakukan dengan bahasa yang santun dan menghargai semua kalangan, termasuk masyarakat kecil seperti pedagang kaki lima. Bukan menggunakan metode dakwah yang merendahkan masyarakat kecil.

Dalam hal ini, kritik masyarakat terhadap Gus Miftah cukup beralasan. Peran publik menuntut kemampuan berkomunikasi yang tidak hanya informatif tetapi juga empatik. Apalagi, insiden ini berlangsung di hadapan banyak jamaah, menjadikannya contoh yang tidak ideal bagi mereka yang menyaksikan. Gus Miftah telah menyampaikan permintaan maaf langsung kepada Sunhaji dengan mendatangi rumahnya. Langkah ini patut diapresiasi karena menunjukkan kesadaran atas kesalahannya dan upaya memperbaiki hubungan yang terganggu. 

Dalam pertemuan tersebut, Gus Miftah mengakui kekeliruannya dan berencana mengadakan pengajian di rumah Sunhaji sebagai bentuk penghormatan. Namun, kejadian ini juga membawa pelajaran penting tentang tanggung jawab sosial seorang pemimpin. Dalam era digital, di mana segala tindakan mudah direkam dan disebarluaskan, setiap tokoh publik harus lebih berhati-hati menjaga ucapannya. Peristiwa ini menunjukkan bahwa permintaan maaf saja mungkin tidak cukup jika tidak disertai refleksi mendalam dan perubahan nyata.

Kontroversi ini menjadi pengingat bahwa setiap individu, terutama pemimpin atau figur publik, memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga sikap dan tutur kata. Dakwah seharusnya mencerminkan nilai-nilai akhlak mulia yang dapat menjadi teladan bagi masyarakat. Langkah Gus Miftah meminta maaf dan bersilaturahmi dengan Sunhaji adalah awal yang baik. Namun, diperlukan konsistensi dalam menjaga adab dan etika, baik dalam konteks dakwah maupun interaksi sehari-hari. Insiden ini juga menjadi pelajaran bagi kita semua untuk lebih menghormati setiap profesi, karena semua pekerjaan memiliki nilai dan perannya masing-masing dalam kehidupan sosial.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun